Wahai lihatlah …
Engkau yang masih ragu menagkap isyarat angin
Andai tak ada kabut di jernih retinamu
Mungkin aku takkan menangis
Lantaran jelaga rindu di mataku
Tak terindah di kelopak beningmu
Ah, …
Andai semilir masih selalu bisu
Betapa dalam makna menuggu
Maka biarlah asa dan kebimbangan
Memucuk pilu di gugus awan
Di lelembah curam cinta
Orkestra kebisuan
Menerjemahkan nayanyian Tuhan
Robatal, 161205
GERIMIS SENJA DI WAJAHMU
Barangkali
Hanya rinai gerimis
Yang bisa merekahkaj senja
Agar lembayung merah di mataku
Menjelma biru rindu
Sampai angin pun mampu membaca
Lukisan indah di wajahmu
Ah, …
Lukisan itu kian melaut
Biru
Lantaran hempas angina
Di pantai hatimu
Berkesiur
Kencang
Menghancurkan tebing terjal
Di kawah curam cintaku
Biarlah gerimis senja
Rebah di wajahmu
Semoga abadi
Meski diammu
Tak lagi
Memanggil-manggil
Di hati …
Lounden, 181205
BERPAYUNG DAUN PISANG
(sebuah puisi persembahan)
Aku lahir dari belantara yang renta
Maka tak ada yang menungguku
Selain monody keheningan
Sehabis lelah menualangi buana
Aku terkapar!
Orkestra kebisuan menngelayut resah
Bagai semilir mengembarakan bebulir pasir
Jejak terkubur tanpa arti
Aku mengungsi ke alam sepi
Tapi kau pun menjelma angin sunyi
Maka kau ciptakan musim hujan dalam anganku
Dari gubuk ke gubuk aku menggigil sayu
“itu ‘kan hanya gerimis, tak pantas ada tangis”,
Begitu katamu
Ya, tanpa suaramu pun aku takkan menangis
Meski hanya dengan helai jerami kering yang usang
Ku bangun serpihan jiwaku menjadi balai di tanah yang gersang
Genaplah sudah kerentaan ini yang malang
Sebagaiman rinduku yang biru
Dedaunan masih setia menunggu belaian angin mengecupi keningnya
Hingga tak ada derail embun menyalju
Aku luruh menguning diterpa gulana
Tapi aku begitu ingin merangkulmu
Walau hanya siluet wajah anggunmu yang ku dekap
Meski dengan berpayung daun pisang
Yang kupetik dari leladangan yang kerontang
Aku akan tetap menantimu dalam derai hujan
Engkau yang masih ragu menagkap isyarat angin
Andai tak ada kabut di jernih retinamu
Mungkin aku takkan menangis
Lantaran jelaga rindu di mataku
Tak terindah di kelopak beningmu
Ah, …
Andai semilir masih selalu bisu
Betapa dalam makna menuggu
Maka biarlah asa dan kebimbangan
Memucuk pilu di gugus awan
Di lelembah curam cinta
Orkestra kebisuan
Menerjemahkan nayanyian Tuhan
Robatal, 161205
GERIMIS SENJA DI WAJAHMU
Barangkali
Hanya rinai gerimis
Yang bisa merekahkaj senja
Agar lembayung merah di mataku
Menjelma biru rindu
Sampai angin pun mampu membaca
Lukisan indah di wajahmu
Ah, …
Lukisan itu kian melaut
Biru
Lantaran hempas angina
Di pantai hatimu
Berkesiur
Kencang
Menghancurkan tebing terjal
Di kawah curam cintaku
Biarlah gerimis senja
Rebah di wajahmu
Semoga abadi
Meski diammu
Tak lagi
Memanggil-manggil
Di hati …
Lounden, 181205
BERPAYUNG DAUN PISANG
(sebuah puisi persembahan)
Aku lahir dari belantara yang renta
Maka tak ada yang menungguku
Selain monody keheningan
Sehabis lelah menualangi buana
Aku terkapar!
Orkestra kebisuan menngelayut resah
Bagai semilir mengembarakan bebulir pasir
Jejak terkubur tanpa arti
Aku mengungsi ke alam sepi
Tapi kau pun menjelma angin sunyi
Maka kau ciptakan musim hujan dalam anganku
Dari gubuk ke gubuk aku menggigil sayu
“itu ‘kan hanya gerimis, tak pantas ada tangis”,
Begitu katamu
Ya, tanpa suaramu pun aku takkan menangis
Meski hanya dengan helai jerami kering yang usang
Ku bangun serpihan jiwaku menjadi balai di tanah yang gersang
Genaplah sudah kerentaan ini yang malang
Sebagaiman rinduku yang biru
Dedaunan masih setia menunggu belaian angin mengecupi keningnya
Hingga tak ada derail embun menyalju
Aku luruh menguning diterpa gulana
Tapi aku begitu ingin merangkulmu
Walau hanya siluet wajah anggunmu yang ku dekap
Meski dengan berpayung daun pisang
Yang kupetik dari leladangan yang kerontang
Aku akan tetap menantimu dalam derai hujan
by : Bahauddin Amyasi
0 comments:
Post a Comment