Tuesday, June 17, 2008

UTANG PIUTANG

BAB I
PENDAHULUAN

Mengenai tentang hukum yang teleh diatur dalam bab ke- sembilan belas bagian ke satu tentang piutang-piutang yang diistimewakan. yaitu adalah suatu hak istemewa yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga ditingkatkan lebih tinggi dari pada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Sedangkan pand (gadai) dan hipotek adalah lebih tinggi dari pada hak istemewa itu, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.
Sebenarnya Privilege mempunyai sifat-sifat yang menyerupai pand atau hipotek, tetapi kita belum dapat menamakannya suatu hak kebendaan, karena Privilege itu barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak cukup untuk melunasi semua hutang dan karena privilege itu tidak memberikan suatu kekuasaan terhadap suatu benda yang mana sebuah istilah umum yaitu, bahwa seorang debitur bertanggung jawab dengan seluruh kekayaan baik yang sekarang sudah ada, maupun yang masih akan ada dikemudian hari, untuk perutangan-perutangannya.


BAB II
PEMBAHASAN


1.1 Piutang-piutang yang diberikan keistimewaan (Privilege)
Menurut pasal 1131 KUHPerdata., semua benda dari seseorang menjadi tanggungan untuk semua hutang-hutangnya, dan menurut pasal 1132 bahwa pendapatan penjualan benda-benda itu harus dibagi diantara para penagih menurut penimbangan jumlah piutang masing-masing, kecuali jika diantara mereka itu ada sementara yang oleh undang-undang telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan lebih dahulukan dari pada penagih-penagih lainnya.
Pasal 1133 menyatakan bahwa mereka ini ialah penagih-penagih yang mempunyai hak-hak yang timbul dari “privilege”, pand atau hipotek.
Privilege menurut pasal 1134 yaitu adalah suatu hak istemewa yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga ditingkatkan lebih tinggi dari pada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Sedangkan pand (gadai) dan hipotek adalah lebih tinggi dari pada hak istemewa itu, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.
Selanjutnya mengenai privilege menurut Sri Soedawi, bahwa dalam privilege ada matigingsrecht dari pada hakim. Yaitu adanya kemajuan dari pada hakim untuk untuk mentukan jumlah yang sepatutnya, mengurangi sampai jumlah yang pantas, mengingat kepentingan kedua belah pihak, menjaga agar kedua belah pihak tidak bertindak semaunya sendiri untuk mencari keuntungan.


Pand dan hipotek tidak pernah bertentangan satu sama yang lain, karena pand hanya dapat diberikan atas barang-barang yang bergerak, sedangkan hipotek sebaliknya hanya mungkin atas benda-benda yang tak bergerak.
Meskipun Privilege mempunyai sifat-sifat yang menyerupai pand atau hipotek, tetapi kita belum dapat menamakannya suatu hak kebendaan, karena Privilege itu barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak cukup untuk melunasi semua hutang dan karena privilege itu tidak memberikan suatu kekuasaan terhadap suatu benda yang mana sebuah istilah umum yaitu, bahwa seorang debitur bertanggung jawab dengan seluruh kekayaan baik yang sekarang sudah ada, maupun yang masih akan ada dikemudian hari, untuk perutangan-perutangannya.
Perbedaan pokok antara hak kebendaan dan privilege adalah, bahwa hak kebendaan itu adalah hak atas suatu benda, sedangkan privilege adalah hak terhadap benda yaitu terhadap benda debitur.
Penghukuman untuk melakukan pembayaran karena itu senantiasa dapat dibebankan pada kekayaan milik debitur, bahkan hanya dapat dibebankan atas kekayaan tersebut saja.
Jadi, disini halnya mengenai ketentuan-ketentuan tentang yang dapat disebut “hukum eksekusi materiil”, kreditur dapat melakukan eksekusi atas segala barang-barang yang dimiliki oleh debitur dengan jalan bagaimana hal itu dilakukan, hal itu diatur dalam buku ke dua Rv. Title-titel II, III dan IV dalam hasil penjualan adalah cukup (guna melunasi hutangnya), disitu akan tiada kesulitan dan kreditur akan menerima apa yang menjadi haknya dari hasi penjulan tersebut.
Dalam pada itu, apabila hasil tidak mencukupi, itu lantas dikurangkan dari piutangnya dan selanjutnya kreditur tetap akan mempunyai piutang untuk jumlah selebihnya.


Pada ekskusi oleh beberapa orang kreditur belakulah azaz (sebagaimana tertera dalam pasal 1178), bahwa, apabila hasil dari barang-barang yang diekskusi tidaklah cukup, hasil itu lantas dibagi menurut pertimbangan piutang masing-masing, sekedar tidak ada hak dilebih dahulukan.
1.2. Piutang-piutang yang diistemewakan dalam arti sempit
Pengistemewaan dalam arti sempit ini telah dijelaskan pada pasal 1180, yaitu: tak sah adalah suatu pembukuan hipotik yang dilakukan pada suatu saat dimana, oleh karena milik atas bendanya telah berpindah kepada seorang pihak ketiga, siberhutang telah kehilangan hakmiliknya. Jadi hal itu tidak dapat diadakan dengan jalan perjanjian dan perjanjian-perjajian yang disitu diluar undang-undang dinamakan privilege.
Kreditur-kreditur yang mempunyai piutang-piutang yang diistemewakan disebut kreditur-kreditur yang diistemewakan atau kreditur-kreditur yang perferen, berlawanan dengan kreditur-kreditur yang konkuren. Pengistemewaan menurut undang-undang memperoleh dasarnya didalam pertimbangan keadilan. Diambil dari sifat hutang-hutangnya privilege, demikian Hoge Raad (ares 15 juni 1917), adalah bukan bagian dari hak yang ditentukan menurut kehendak sendiri dengan jalan mengadakan perjanjian antara pihak tetapi itu. Adalah suatu akibat hukum yang diletakkan oleh undang-undang untuk kepentingan umum pada perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak terhadap hak-hak, hal mana yang diperkenankan terhadap pihak-pihak ketiga.

1.3. Macam piutang-piutang yang diberikan privilege
Menurut undang-undang ada dua macam privilege. Pertama, yang diberikan terhadap suatu benda tertentu (pasal 1139 KUHPer). Kedua, yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang (pasal 1149 KUHPer). Privilege semacam yang pertama itu, mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang.
a. Piutang-piutang yang diberikan privilege terhadap barang-barang tertentu ialah :
1. Biaya-biaya perkara yang teleh dikelurkan untuk penyitaan dan penjualan suatu benda atau yang dinamakan biaya-biaya ekskusi; harus diambil dahulukan dari pada privilege lain-lainya, bahkan terlebih dahulu pula dari pada pand dan pypotheek.
2. Uang-uang sewa dari benda-benda yang tak bergerak (rumah atau persil) beserta ongkos-ongkos perbaikan yang telah dilakukan si pemilik rumah atau persil, tetapi seharusnya dipikul oleh si penyewa, penagihan uang sewa dan ongkos perbaikan ini mempunyai privilege terhadap barang-barang perabor rumah (meubilair) yang berada dalam rumah atau diatas persil tersebut.
3. Harga barang-barang bergerak yang belum dibayar oleh sipembeli jikalau disita, sipenjual barang mendapat privilege atas hasil penjualan barang itu.
4. biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu benda, dapat diambilkan telebih dahulu dari hasil penjualan benda tersebut, apabila benda itu di sita dan dijual.
5. Biaya-biaya pembikinan suatu benda yang belum dibayar, sipembikin barang ini mendapat privilege atas pendapatan penjualan barang itu, apabila barang itu disita dan dijual.
b. Piutang-piutang yang diberikan privilege terhadap semua kekeyaan orang yang berhutang, ialah:
1. Biaya ekskusi dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan kekayaan yang telah disita itu.
2. Ongkos penguburang dan ongkos pengobatan sakit yang mengakibatkan matinya orang yang berhutang.
3. Penagihan-penagihan karena pembelian bahan-bahan makanan untuk keperluan orang yang berhutang beserta kelurganya, selama enam bulan yang paling akhir.
4. penagihan-penagihan dan “kostschuo lhouders” untuk tahun yang terakhir.

1.4. Hak-hak istemewa yang ada pada pajak dan lain yang timbul dari dalam hukum public.
Diantara hak-hak istemewa yang kedudukannya penting ialah hak-hak istimewa yang kedudukannya penting ialah hak-hak istimewa dari perbendaharaan kerajaan, didalam mana terutama termasuk hak-hak istemewa pajak, itu tidak dapat dalam berbagai undang-undang pajak. Dan undang-undang tersebut yang penting kita ikhtisarkan sekedarnya.
Berbagai undang-undang dimana hak-hak istimewa (atau: privilege, hak utama) telah ditanamkan untuk kepentingan perbendaharaan kerajaan diantaralain sebagai berikut:
1. Undang-undang 1845 atas pemungutan pajak-pajak kerajaan yang langsug. Undang-undang yang (di Nederland! red), sangat terkenal ini memberikan dalam pasal 12 kepada negera suatu hak istimewa bagi pajak-tanah dan bagi pajak-pajak lansugn selebihnya.
2. Yang disebut undang-undang umum tahun 1822 memberikan dalam pasal 290 kepada penerima cukai (=accijns) atau hak istimewa, hal mana menurut hoge raad (23 Maret 1931) bersama-sama dengan hak istimewa yang disebut dalam sub 1 mempunyai derajat yang sama.
3. Undang-undang “successie” memberikan kepada Negara hak istimewa atas semua benda bergerak dan tak bergerak yang diwaris atau diberoleh karena meninggalnya seseorang.
4. Yang disebut undang-undang kewenangan tahun 1920 mengatur wewenang subak-subak (daerah pengairan) dan sebagainya untuk membuat peraturan-peraturan dan memberikan kepada badan-badan itu suatu hak istimewa bagi bagian-bagian yang harus dipikul dan beban-beban lain (p. 25 dan 25a)
5. Undang-undang invaliditas (“invaliditeit” = cacat badan) (p. 210) menyatakan piutang dari bank pertanggungan kerajaan sebagai piutang yang ber-hak-istemewa.

1.5. Hak istemewa orang yang menyewakan.
Menurut pasal 1185 sub 2 orang yang menyewakan (dipersamakan dengan orang yang menyewakan ialah orang yang memberikan hak usaha). Adalah berhak istemewa untuk semua apa saja yang harus ia pungut berupa uang sewa, biaya-biaya perbaikan yang wajib dilakukan oleh penyewa dan semua apa selebihnya yang behubungan dengan pemenuhan perjanjian sewa.
Berdasarkan kata-kata penutup dari pasal 1186 ayat 1 tidaklah penting apakah benda-benda adalah milik si penyewa ataupun bukan. Hak istimewa itu dengan demikian adalah agak aneh, yaitu, bahwa hak itu juga mengenai benda-benda pihak ketiga dimana dalam pada itu dapat saja diterima, bahwa benda-benda yang hilang atau dicuri dari tangan pemiliknya benda-benda mana ada diantara barang-barang yang berikat pada orang-orang yang menyewakan-tetap menikmati perlindungan pasal 2014 ayat terakhir selam 3 tahun. Maksud perluasan hak istimewa sampai kebarang-barang orang-orang ketiga ialah, agar dapat menggagalkan kongkalikong antara penyewa dan pihak ketiga untuk mengurangi hak-hak dari orang yang menyewakan, suatu keadaan yang tidak terdapat ada terhadap barang-barang yang hilang atau yang dicuri.








1.6. Biaya exekusi
Golongan pertama dalam pasal 1185 mengenai biaya-biaya yang timbul karena penghukuman untuk melelang suatu benda. (disingkat: biaya-biaya ekskusi), yang pada umumnya memperboleh urutang yang lebih tinggi. Hal itu atas dasar, bahwa “uitwinning”, hal mana dimaksudkan pensitaan dan/atau penjualan dengan paksa sesuatu benda untuk melunasi suatu piutang, seringkali (uitwinning tersebut! Red.) maksud untuk tidak kehilangan sesuatu benda yang menjadi sasaran pertanggungan jawab, juga untuk kepentingan kreditur-kreditur yang lain-lain. Sebab, dengan tindakan dari kreditur yang menuntut dicegahlah, bahwa debitur memindah tangankan bendanya sendiri dan menghindarkan diri dari pengeksekusian oleh pengadilan. Privilege tersebut mempunyai urutan yang tinggi, sebab itu kedudukannya ada diatas gadai dan hipotik, juga di atas hak-hak istemewa mengenai per-pajak-an. Perlu diperjelas lagi bahwa hak-hak istemewa yang menurut KUHPerdata tertanam atas benda-benda tertentu.

BAB III
KESIMPULAN


Menurut pasal 1131 KUHPerdata., semua benda dari seseorang menjadi tanggungan untuk semua hutang-hutangnya, dan menurut pasal 1132 bahwa pendapatan penjualan benda-benda itu harus dibagi diantara para penagih menurut penimbangan jumlah piutang masing-masing, kecuali jika diantara mereka itu ada sementara yang oleh undang-undang telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan lebih dahulukan dari pada penagih-penagih lainnya.

Menurut undang-undang dua macam privilege :
1. Privilege yang diberikan terhadap suatu benda tertentu (pasal 1139 KUHPer).
2. Privilege yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang (pasal 1149 KUHPer).

DAFRTA PUSTAKA


Tutik triwulan tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), 168

Sri Soedewi Masjchen sofwan, hukum perdata hukum benda, (Yogyakarta: Liberty)

H.F.A. Vollmar pengantar studi hukum perdata jlid 1 (Jakarta: CV. Rajawali, 1983)

Subekti, Tjitrosudibio Kitab undang-undang hukum perdata (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,2006)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003)
read more “UTANG PIUTANG”

PIDANA PENGANIAYAAN

BAB I
PENDAHULUAN

Tindak pidana adalah suatu kejatahatan yang semuanya itu telah diatur dalam undang-undang dan begitu pula KUHP, mengenai tindak pidana yang kami bahas dalam makalah ini adalah tindak pidana terhadap tubuh yang bisa disebut juga sebagai penganiayaan. Banyak beberapa model dan macam penganiayaan telah dilakukan dikalangan masyarakat sehingga dapat menimbulkan kematian.
dalam KUHP itu sendiri telah menjelaskan dan mengatur tentang macam-macam dari penganiayaan beserta akibat hukum apabila melakukan pelanggaran tersebut, pasal yang menjelaskan tentang masalah penganiayaan ini sebagian besar adalah pasal 351 sampai dengan pasal 355, dan masih banyak pula pasal-pasal lain yang berhubungan dengan pasal tersebut yang menjelaskan tetang penganiayaan.
Disini pemulis akan menjelaskan tentang pengertian dari penganiaan tersebut, sedangkan penganiayaan itu sendiri yang kami ketahui, penganiaan biasa, penganiayaan ringan, penganiayaa berencana, penganiayaan berat, penganiyaan berat berencana, dari sini kami akan mencoba membahasnya satu persatu. Yang akan di terang kan dalam makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain. (satochid kartanegara : 509)
Adapula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan” (Soenarto Soerodibroto, 1994: 211), sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut.
a. Adanya kesengajaan
b. Adanya perbuatan
c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni
1. rasa sakit pada tubuh
2. luka pada tubuh
Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif.

A. Kejahatan terhadap tubuh (Penganiayaan)
Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehinnga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya, dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II, pasal 351 s/d 356.

Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II, pasal 351s/d 355 adalah sebagai beriku:
1. Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP
2. Penganiayaan ringan pasal 352 KUHP
3. Panganiayaan berencana pasal 353 KUHP
4. penganiayaan berat pasal 354 KUHP
5. penganiayaan berat pasal 355 KUHP
6. s

Dari beberapa macam penganiayaan diatas kami mencoba untuk menjelaskaannya satu persatu :
1. Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP
pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut :
1. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupih.
2. Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan
5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.
Kembali lagi dari arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berari bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu. yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan.
Oleh karena mendapatkan perizinan dari pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya. Seperti contoh: seorang guru yang memukul anak didiknya, atau seorang dokter yang telah melukai pasiennya dan menyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju, pencak silat, dan lain sebagainya.
Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut diatas telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu meskipun telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang membatasinya diatas perbuatan itu, mengenai orang tua yang memukili anaknya dilihat dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya.
Oleh sebab dari perbuatan yang telah melampaui batas tertentu yang telah diatur dalam hukum pemerintah yang asalnya pebuatan itu bukan sebuah penganiayaan, karena telah melampaui batas-batas aturan tertentu maka berbuatan tersebut dimanakan sebuah penganiayaan yang dinamakan dengan “penganiayaan biasa”. Yang bersalah pada perbuatan ini diancam dengan hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya sikorban. Mengenai tentang luka berat lihat pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati yang dimaksud disini hanya sebagai akibat dari perbuatan penganiayaan itu.


Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi:
1. Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian
2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
3. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian
4. penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

2. Penganiayaan ringan pasal 352 KUPH
Disebut penganiayaan ringan Karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam pasal 352 KUHP sebagai berikut:
1. Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.

2. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Melihat pasal 352 ayat (2) bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu (penganiyaan ringan) tidak dapat di pidana” meskipun dalam pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur dalam pasal 53 ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain.

3. Penganiyaan berencarna pasal 353 KUHP
Pasal 353 mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut :
1. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2. Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun
3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Menurut Mr.M.H. Tiirtamidjaja Menyatakan arti di rencanakan lebih dahulu adalah : “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”.
Apabila kita fahami tentang arti dari di rencanakan diatas, bermaksud sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alas an pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (340).
Pekataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia masih berfikir dengan bating yang tenang apakah resiko/akibat yang akan terjadi yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.
Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan diatas dan telah diatur dala pasal 353 apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa faktor/alas an pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di kehendaki sesuai dengan (ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP).

4. Penganiayaan berat pasal 354 KUHP
Penganiayaan berat dirumuskan dalam pasal 354 yang rumusannya adalah sebgai berikut :
1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu: pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alas an diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum.


Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwah dan ia harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana.
Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat. Mengenai luka berat disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada pasal 90 KUHP sebagai berikut:
Luka berat berarti :
 Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut.
 Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian
 Didak dapat lagi memakai salah satu panca indra
 Mendapat cacat besar
 Lumpuh (kelumpuhan)
 Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu
 Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Pada pasal 90 KUHP diatas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.



5. Penganiayaan berat berencana pasal 355 KUHP
Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut :
1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
2. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Bila kita lihat penjelasan yang telah ada diatas tentang kejahatan yang berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (354 ayat 1) dengan penganiyaan berencana (pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

BAB III
KESIMPULAN


Penganiayaan adalah “Dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan”
Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II, pasal 351s/d 355 adalah sebagai beriku:
1 Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP
Penganiayaan biasa bisa menimbulkan luka berat pasal 90 dan menyebabkan kamatian dan ini diancam hukuman lebih berat
2 Penganiayaan ringan pasal 352 KUHP
Tidak menimbulkan luka baik luka ringan atau luka berat sehingga tidak mengganggu kesehatan dan pekerjaan jabatan atau pakerjaan sahari-hari
3 Panganiayaan berencana pasal 353 KUHP
Sebelum melakukan penganiayaan ada unsur direncanakan terlebih dahulu
4 Penganiayaan berat pasal 354 KUHP
Penganiayaan yang menyebabkan luka berat pasal 90 KUHP
5 Penganiayaan berat pasal 355 KUHP
Merupakan penganiayaan gabungan antara penganiayaan berencana dan penganiayaan berat dan dilakukan secara bersama.


DAFTAR PUSTAKA


Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Iandonesia (Bandung; Eresco, 1989)
Leden Marpaung Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh (Jakarta; Sinar Grafika,2002)
Moeljatno, Aszs-Asas Hukum Pidana (Jakarta; Renika Cipta,2002)
R.Roesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Umum Dan Delik-Delik Khusus (Bandung: Karya Nusantara, 1984)
Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana (Jakarta; Fasco, 1995), 42
…………..Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa ( )
R. Sugandhi, KUHP dan penjelasannya (Surabaya; Usaha Nasional, 1981)
Andi Hamzah, Asas-asas hukum pidana (Jakarta: PT. Renika Cipta, 1994)
read more “PIDANA PENGANIAYAAN”

ORGANISASI PERADILAN AGAMA

ORGANISASI PERADILAN AGAMA

Pengadilan di lingkungan peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama yang dibentuk dengan keputusan presiden, yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding yang dibentuk dengan undang-undang. Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding adalah pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus kembali putusan Pengadilan Agama apabila pihak berperkara mengajukan banding. Untuk lebih memahami susunan organinsasi peradilan agama akan dibahas sebagai berikut :
A. Susunan organisasi peradilan agama
Susunan organisasi Pengadilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita.
1. Pimpinan pengadilan
Pemimpin Pengadilan Agama terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua. Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh ketua mahkamah agung.
Secara organisatoris ketua sebagai unsur pemimpin pimpinan diberi kewenangan oleh pasal 53 ayat (1) untuk mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku semua organ, termasuk para hakim. Namun khusus pengawasan terhadap hakim seperti yang diperingatkan pasal 53 ayat (4), harus berupa pengawasan yang bersifat fungsional dan arti tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.
2. Hakim
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul ketua mahkamah agung.
3. Panitera/sekretaris
Mengenai struktur kepaniteraan sebagai salah satu sistem pendukung organisasi pengadilan dan sekaligus pula pendukung utama funsi peradilan, menurut pasal 26 ayat (7) jo. Pasal 44, mempunyai tugas ”ganda” pada diri dan jabatannya melekat jabatan panitera merangkap sekretaris pengadilan. Dalam hal struktur kepanitiaan ini ada kelompok funsional yang disebut dengan panitera pengganti dan juru sita, Sekaligus dalam tugasnya dibantu oleh :
a. Wakil panitera
Wakil panitera mempunyai sub bagian tertentu antara lain :
1. Sub kepaniteraan permohonan
2. Sub kepaniteraan gugatan
3. Sub kepaniteraan hukum
b. Wakil sekretaris
wakil skretari juga mempunyai sub bagian tertentu antara lain :
1. Sub bagian kepegawaian
2. Sub bagian keuangan
3. Sub bagian umum

B. Susunan organisasi Pengadilan Tinggi Agama
Susunan organisasi Pengadilan Tinggi Agama hampir sama dengan susunan organisasi Pengadilan Agama. Perbedaannya hanya pada juru sita dalam kelompok fungsional dan panitera muda. Juru sita tidak terdapat dalam struktur organisasi Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding yang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi. Sedangkan jumlah panitera muda pada Pengadilan Tinggi Agama terdiri panitera muda banding dan panitera muda hukum, sebagaimana dibawah ini :
1. Pemimpin
Ketua dan wakil ketua mengomando atau mengawasi hakim tinggi
2. Hakim
3. Panitera/sekretaris (kepaniteraan) sekaligus dengan kelompok fungsional panitera pengganti. Dalam tugasnya kepaniteraan ini dibantu oleh :
a. Wakil panitera
Terdiri dari sub-sub bagian antara lain :
- Sub kepaniteraan banding
- Sub kepaniteraan hukum
b. Wakil skretaris
Terdiri dari sub-sub bagian antara lain :
- Sub bagian kepegawaian
- Sub bagian keuangan
- Sub bagian umum
C. Syarat-syarat menjadi seorang hakim dan pengangkatan hakim
1. Yang pertama syarat yang mutlak adalah harus beragama islam
2. Warga negara indonesia
3. Bertawa kepada Tuhan Yang Maha Esa
4. Setia kepada pancasila
5. Bukan bekas anggota organisasi terlarang partai komunis indonesia.
6. Pegawai negeri
7. Sarjana syari`ah atau sarjana hukum yang mengusai hukum islam
8. Berumur serendah rendahnya 25 tahun
9. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
Pengangkatan seorang hakim dilingkungan peradilan agama diatur dalam pasal 13 UU. No. 3 tahun 2006
D. Syarat-syarat menjadi panitera/sekretaris
1. Warga negara indonesia
2. Beragama islam
3. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
4. Setia kepada Pancasia dan UUD 1945
5. Berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari`ah atau sarjana muda hukum yang menguasai hukum islam
6. Berpengalaman sekurang-kurangnya 4 tahun sebagai wakil panitera atau 7 tahun sebagai penitera muda Pengadilan Agama atau menjabat wakil panitera Pengadilan Tinggi Agama.
Mengenai pengangkatan dan pemberhentian panitera/sekretaris diatur dalam pasal 26. pengangkatan dan pemberhentian dilakukan oleh mentri agama
read more “ORGANISASI PERADILAN AGAMA”

PRINSIP PERKAWINAN

PRISIP- PRINSIP PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG

Asas – asas dan prinsip perkawinan menurut undang-undang perkawinan :
1. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
UU nomor 1 Tahun 1974 “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”
Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepri badiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

2. Perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing agamanya.
Pasal (1) ayat 1 dan 2 UU no 1 tahun 1974
Ayat
1. perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
2. tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatau akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.




3. Menganut Asas Monogami
Pasal (3) ayat I dan 2 UU No 1 tahun 1974
Ayat
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan sorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian pekawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
4. Calon suami isteri harus telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Pasal (6) Ayat 1 dan Pasal (7) ayat 1 UU No 1 Tahun 1974
Ayat
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
Pasal (7)
Ayat
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa barakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem laju kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur, sebab umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Dalam halperkawinan seorang pria dan seorang wanita yang belum cukup umur standart.perkawian yang tetap berkehendak untuk melangsungkan perkawinan bisa mendapat kan ijin, pasal (6) ayat 2,3,4,5,6 dan pasal 7 ayat 2,5. dalam pasal tersebut telah dijelaskan untuk mendapatkan perizinan perkawinan yang dibawah umur standart perkawinan.
5. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtara, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
6. Hak dan kedudukan isteri seimbang
Pasal (31) UU No. 1 Tahun 1974
Ayat
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dan keluraga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.



Berkenaan dengan tujuan pernikahan antara suami isteri dalam berumah tangga menerapakan prinsip-prinsip yang juga merupakan asas-asas perkawinan dalam islam sebagai berikut :
a. Pergaulan yang Ma`ruf (pergaulan yang baik ) yaitu saling menjaga rahasia masing-masing
b. Pergaulan yang Sakinah (pergaulan yang aman dan tentam)
c. Pergaulan yang mengalami rasa Mawaddah (saling mencintai) terutama dimasa muda
d. Pergaulan yang disertai rahma (rasa santun menyantuni) terutama setelah masa tua.
Hal serupa juga dijelaskan oleh musdah muliah yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran bahwa prinsip perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh
Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa arab yang merupakan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya sendiri saja ia tak memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik pada dirinya. oleh sebab itu kebebasan memiliki jodoh adalah hak kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan syari`at isalam
b. Prinsip Mawaddah Warahmah
prinsip ini berdasarkan pada firman Allah QS Ar-rum : 21 seperti yang terlah tersebut diatas, Mawaddah Warahma adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oelh makhluk lainnya karena jika hewan melakukan hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks dan pekembang bikan saja. sedangkan perkawinan manusia disamping tujuang yang besifat biologis juga untuk mencapai Ridho Allah
c. Prisip saling melengkapi dan melindungi
Berdasarkan firma allah QS. Al-baqarah 187
d. Prinsip Mu`asarah bi al Ma`ruf Annisa : 19
Prisip laki-laki untuk memperlakukan isterinya secara baik dan dengan mengayomi dan mengahargai kedudukan seorang wanita.
Asas dan prinsip perkawinan dalam bahasa sederhana adalah sebgai berikut :
e. Asas suka rela
f. Partisipasi keluarga
g. Perceraian dipersulit
h. Poligami dibatasi secara ketat
i. Kematangan calon mempelai
j. Memperbaiki derajad kaum wanita
Aburrahman ghazaly dalam bukunya fikih munakahat juga menyebutkan bahwa prinsip-prinsip perkawinan dalam islam adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama
2. Kerelaan dan persetujuan
3. Perkawinan untuk selamanya
Dari sekian prinsip atau asas perkawinan yang telah diuraikan diatas, menjadi acuan undang-undang dalam menetapkan asas-asas perkawiwina dalam hal ini Ahmad Rafiq merumuskan sebagai berikut:
1. Tujuan perkawian adalah membentuk kelurga yang bahagia dan kekal
2. Suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing -masing agamanya dan kepercayaannya.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan dan atas izin dari pengadilan, berhak poligami
4. Undang-undang perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus cukup umur dan matang jiwa raganya.
5. Karena tujuan perkainan adalah membentuk keluaga yang bahagia dan kekal, maka undang-undang menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian
6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Asas-asas dan prinsip perkawinan menurut hukum islam :
a. Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Cara ialah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak
b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada ketentuan larangan-laranga perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak mupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah tangga yang tentram, damai kekal untuk selama-lamanya.
e. Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
read more “PRINSIP PERKAWINAN”

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Didalam suatu Negara untuk mencapai suatu kehidupan yang sejahtera, aman, dan bahagia perlu adanya peraturan-peraturan atau hukum salah satu hukum yang terdapat dalam Negara Indonesia yaitu hukum pidana yang mengatur kehidupan rakyatnya serta melindungi mereka dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.
Sedangkan dalam hukum pidana sendiri terkandung beberapa asas-asas diantaranya ialah asas Legalitas, asas Nasionalitas, dan asas Territoralitas yang akan kami bahas dalam makalah ini.

B. Rumusan maslah
1. Asas-asas yang terkandung dalam hukum pidana
2. Apa yang dimaksud dengan masing-masing asas tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana dapat dikenal beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat di pergunakan secara sistimatis, kritis dan harmonis.
Beberapa asas yang terdapat dalam hukum pidana yaitu :
A. Asas Legalitas
Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan suatu sanksi kepadanya. Syarat tersebut bersumber pada asas legalitas.
Pada hakekatnya, bahwa azas legalitas yang menhendaki adanya suatu peraturan pidana dalam perundang-undang yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan dengan tidak mengurangi berlakunya hukum adat pidana, yang menetapkan suatu perbuatan itu sebagai suatu tindak pidana.
Asas Legalitas mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang, juga disyaratkan agar acara pidana dijalankan menurut cara yang telah diatur dalam undang-undang. Hal ini dicantumkan dalam pasal 3 KUHP (pasal 1 ), pasangan dari pasal 1 ayat 1 KUHP.
Pasal 1 KUHP menjelaskan kepada kita bahwa :
- Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang
- Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu dari perbuatan itu ; dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan.
Asas legalitas dapat dijumpai dalam sumber-sumber hukum internasional, seperti :
1. Deklarasi Universal hak-hak asasi manusia 1948, pasal II ayat 2
2. Perjanjian Eropa untuk melindungi hak manusia dan kebebasan asasi 1950 (perjanjian New York) pasal 15 ayat 1.
Asas Legalitas mengandung tiga perngertian, Yaitu :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas)
3. Aturan-aturan pidana tidak berlaku surut.
Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan kepada undang-undang pidana, undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental.
An selm von feverbach, seorang sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Sehubungan dua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa latin :
- Nulla Poena Sine Lege :
Tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undag-undang
- Nulla poena sine crimine :
Tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana
- Nullum crimen sine poena legali :
Tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Dasar perumusan asas legalitas itu sebagai realisasi dari teorinya yang dikenal dengan nama “ Theorie Van Psychologische Zwang ” yang menganjurkan agar dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan, bukan saja tentang macam pidana yang dicantumkan.
Selanjutnya berkenaan dengan asas legalitas ini, Roeslan Saleh Mengatakan bahwa asas legalitas mempunyai tiga dimensi :
a. Dimensi politik hukum
b. Dimensi politik kriminal
c. Dimensi politik organisasi

a. Dimensi politik hukum
Artinya politik hukum disyaratkan ini adalah perlindungan terhadap anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah.
b. Dimensi politik kriminal
Bahwa suatu rumusan undang-undang yang jelas dan tidak menimbulkan keragu-raguan tentang kejahatan-kejahatan dan pidana-pidananya akan dapat melakukan fungsi politik kriminal yang baik. Suatu penerapan yang tegas dari asas legalitas akan memungkinkan warga masyarakat “untuk menilai semua akibat merugikan yang ditimbulkan oleh dilakukannya suatu perbuatan pidana, dan ini dapat dipertimbangkannya sendiri dengan tepat”.
c. Dimensi organisasi
Asas legalitas dikaitkan dengan peradilan pidana mengharapkan lebih banyak lagi daripada hanya akan melindungi warga masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah.
Asas legalitas itu diharapkan memainkan peranan yang lebih positif.
Berbagai aspek asas legalitas
Ada tujuh aspek yang dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Tidak dapat di pidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang
2. Tidak ada penerapan undan-undang pidana berdasarkan analogi
3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan
4. Tidak boleh ada perumusan delik ketentuan pidana
5. Tidak ada kekuatan surut diketentuan pidana
6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang
7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.
B. Asas Nasionalitas
Asas Nasionalitas terbagi menjadi dua :
1. Asas Nasionalitas Aktif
Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana Indonesia mengikuti warga negaranya kemanapun ia berada.
Asas ini menentukan, bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana suatu Negara disandarkan pada kewarganegaraan Nasionalitas seseorang yang melakukan suatu perbuatan, dan tidak pada tempatnya dimana perbutan dilakukan.
Ini berarti, bahwa undang-undang hukum pidana hanya dapat diperlakukan terhadap seseorang warga Negara yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan dalam pada itu tidak menjadi persoalan dimana perbuatan itu dilakukannya diluar Negara asalnya, undang-undang hukum pidana itu tetap berlaku pada dirinya.
Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP yang berbunyi :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan republik Indonesia berlaku bagi warganegara Indonesia yang melakukan diluar wilayah indonesia ”.


1. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam bab I dan II buku III dan dalam pasal-pasal 160,161,240,279,450, dan 451 KUHP; dan
2. Suatu perbutan yang dipandang sebagai kejahatan menurut undang-undang Negara, dimana perbuatan itu dilakukan.
Penentuan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada sub dua boleh juga dijalankan, jikalau terdakwah baru menjadi warga Negara Indonesia setelah melakukan perbutan itu.
Pasal 5 ayat 1 ke-1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia diluar negeri maka berlakulah hukum pidana di Indonesia. Kejahatan-kejahatan itu tercantum didalam bab I dan II buku kedua KUHP (kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden dan pasal 160,161,240,279,450 dan 451).
Tidak menjadi soal apakah kejahatan-kejahatan tersebut diancam pidana oleh Negara tempat perbuatan itu dilakukan. Dipandang perlu kejahatan yang membahayakan kepentingan Negara Indonesia dipidana. Sedangkan hal itu tidak tercantum didalam hukum pidana di Luar Negeri.
Kejahatan-kejahatan ini sangat penting bagi Negara republik Indonesia, tetapi sekiranya tidak termuat dalam hukum pidana dari Negara asing sehingga pelaku-pelakunya tidak akan dihukum apabila kejahatannya dilakukan diwilayah Negara asing itu, sedangkan apabila kejahatan-kejahatan itu dilakukan oleh warga Negara Indonesia, orang itu dianggap layak dihukum juga meskipun kejahatan dilakukan di wilayah Negara asing.
Lain halnya denga golongan kejahatan yang tersebut dalam pasal 5 ayat 1 sub kedua. Kejahatan-kejahatan seperti ini dihukum juga menurut hukum pidana Negara asing kalau dilakukan disana. Apabila kejahatan itu disana dilakukan oleh warga Negara Indonesia, dan orang itu mencari perlindungan di wilayah Indonesia, kemungkinan besar orang itu oleh pemerintah Indonesia tidak akan diserahkan kepada pemerintah Negara asing yang bersangkutan.
Tetapi ada sedikit pembahasan, yang termuat dalam pasal 6 KUHP, yang menentukan, bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan oleh pengadilan di Indonesia apabila kejahatan yang bersangkutan, menurut hukum pidana Negara asing yang bersangkutan, tidak diancam dengan hukuman mati.
Indonesia tidak akan menyerahkan warganya untuk diadili di luar negeri, ketentuan ini berlaku bagi semua kejahatan menurut KUHP Indonesia.
2. Asas Nasionalitas Pasif
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu Negara (Juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-pebuatan yang dialkuan diluar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan Negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan Negara itu.
Asas ini tercantum dala pasal 4 ayat 1,2 dan 4 KUHP, kemudian diperluas dengan undang-undang Nomor 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh pasal 3 undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1995 tentang tindak pidana ekonomi.
Disini yang dilindungi bukanlah kepentingan individu orang Indonesia, tetapi kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik di wilayah Negara lain, yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap Negara untuk menegakkan hukum di wilayah sendiri.
Berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu Negara menurut asas ini disandarkan kepada kepentingan hukum (Rechtbelang) menurut Simons : Rechtgoed yang dilanggarnya. Dengan demikian apabila kepentingan hukum dari suatu Negara yang menganut asas ini dilanggar oleh seseorang, baik oleh warga Negara ataupun oleh orang asing dan pelanggaran yang dilakukukan baik diluar maupun didalam Negara yang menganut asas tadi, Undang-undang hak pidana Negara itu dapat diperlakukan terhadap di pelanggar tadi.
Pasal 4 KUHP yang mengandung asas nasionalitas pasif, berbunyi sebagai berikut :
Peraturan hukum pidana dalam undang-undang republic Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah republik Indonesia, melakukan :
Ke-1 : Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 104,106,107
dan 108,110,111 bis pada ke-1,127 dan 131;
Ke-2 : Suatu kejahatan tentang mata uang, materai atau merek yang
dikeluarkan atau digunakan oleh pemerintah Indonesia.
Ke-3 : Pemalsuan tentang surat-surat utang atau sertifikat-sertifikat utang
Yang ditanggung oleh pemerintah Republik Indonesia, daerah atau sebagian daerah, pemalsuan talon-talon surat-surat utang seorang (keterangan individual) tau surat-surat bunga uang yang termasuk surat-surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seperti itu asli dan tidak dipalsukan.
C. Asas Territorialitas atau Wilayah
Pertama-tama kita lihat bahwa hukum piadana suatu Negara berlaku diwilayah Negara itu sendiri, ini merupakan yang paling pokok dan juga asas yang paling tua. Logis kalau ketentuan-ketentuan hukum suatu Negara berlaku diwilayahnya sendiri.
Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayahnya Negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat dikatakan semua Negara menganut asas ini, termasuk Indonesia. Yang menjadi patokan ialah tempat atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan.
Pasal 2 KUHP mengandung asas territorialitas, yang menyatakan aturan pidana (Wettelijke Strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana didalam wilayah Indonesia. Asas territorialitas berarti perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi didalam wilayah Negara. Yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga Negara maupun orang asing.
Menurut pasal ini berlakunya undang-undang hukum pidana di titik beratkan pada tempat berbuatan diwilayah Negara Indonesia dan tidak disyaratkan bahwa di pembuat harus berada di dalam wilayah, tetepi cukup dengan bersalah dengan melakukan perbutan pidana yang “terjadi” didalam wilayah Negara Indonesia.
Asas territorialitas mempunyai dasar logika sebagi perwujudan atas kedaulatan Negara untuk mempertahankan ketertibah hukum didalam wilayah negra, dan kepada siapa saja yang melakukan perbuatan pidana berarti orang itu melanggar ketertiban hukum itu. Dapat dikatakan pula bahwa asas territorialitas untuk berlakunya undang-undang hukum pidana merupakan asas yang prinsip sebagai dasar utama kedaulatan hukum, sedangkan asas-asas yang lain dipandang sebagai pengecualian yang bermanfaat perluasannya.
Batas wilayah Negara menurut hukum Internasional meliputi daratan atau pulau-pulau yang mendapat pengakuan, parairan laut sepanjang pantai sejauh 3 mill dan udara diatas daratan termasuk perairan laut. Wilayah perairan laut Indonesia yang semla berdasarkan Tractaat dan S. 1939-442 tidak lagi sesuai dengan keadaan geografis Indonesi, untuk keperluan itu dikeluarkan peraturan tersendiri.


Pengumuman pemerintah tanggal 13 Desember 1957 No. S.2351/12/57 yang menyatakan bahwa perlu memberikan corak tersendiri bagi wilayah Indonesia menyimpang dari ketentuan yang sudah ada dengan menetapkan Negara Indonesia adalah termasuk perairan pendalaman yang berada diantara ribuan pulau dan batas perairan laut sejauh 12 mill diukur dari garis-garis penghubung pada titik-titik terujung dari pada pulau-pulau Indonesia.Ruang udara wilayah Indonesia diatas daratan dan perairan laut, mempunyai batas-batas yang ditetapkan menurut konvensi paris 13 Oktober 1919, Serta S.1939-100.
Prinsip teritorialitas ini diperluas oleh pasal 3 KUHP sampai kapal-kapal Indonesia, meskipun berada di wilayah Indonesia. Maka dengan demikian siapa saja, juga orang-orang asing, dalam kapal-kapal laut Indonesia, meskipun sedang berada atau berlayar dalam wilayah Negara lain, takluk pada hukum pidana Indonesia.

BAB III
KESIMPULAN

Dalam hukum Pidana terkandung asas-asas menurut tempat dan waktu. Dan diantara asas-asas tersebut yaitu, asas legalitas, dan nasionalitas dan territorialitas.
1. Asas Legalitas
Seseorang tidak akan dikenakan hukuman selama berbutannya tidak terkandung dalam ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan.
2. Asas Nasionalitas
a. Nasionalitas Aktif
Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik hukum pidana Indonesia, mengikuti warga negaranya kemanapun ia berada.
b. Nasionalitas Pasif
Asas yang menentukan bahawa hukum pidana suatu Negara berlaku terhadap perbuatan-perbutan yang dilakukan di luar negeri.
3. Asas Territorialitas
perundang-undangan huukum pidana bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah Negara, yang dilakukan setiap orang, baik sebagai warga Negara Walaupun orang asing.

DAFTAR PUSTAKA



Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta; Ghalia Indonesia,1982)
Schaffmeiter, Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana (Yogyakarta; Liberty,1995)
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta;Renika Cipta,1993)
Soeharto, Hukum Pidana Materiil Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan
(Jakarta;Sinar Grafika,1993)
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia (Yogyakarta; Liberty
Yogyakarta,1987)
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta; Renika Cipta,1994)
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana (Balai Lektur)
A, Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I (Jakarta; Sinar Grafika,1995)
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia (Bandung; PT Eresco, 1989)
Oemar Seno Adji, Hukum Pindana Pengembangan (Jakarta; Erlangga, 1984)
KUHP (Kitab Undang-Udang Hukum Pindana)
read more “ASAS-ASAS HUKUM PIDANA”

JARIMAH

BAB I
PENDAHULUAN

Hukum Pidana Islam merupakan salah satu bagian dari syari`at islam yang berdasarkan al-qur`an dan hadist atau lembaga yang mempunyai wewenang untuk menetakan hukuman. Dalam hukum ini terdapat beberapa anggapan, diantaranya adanya anggapan yang mengatakan hkum ini tidak relevan lagi untuk diterapkan pada zaman modern dikarenakan hukuman ini diangap hanya berlaku pada zaman Rasul, anggapan ini sebenarnya dipengahuri oleh pemikiran orientalis berat pada umumnya, yang mengatakan hukum pidana islam itu hukum yang kejam, tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia dan sebagainya. Kalau kita teliti seksama, tidak ada satupun hukum pidana di dunia ini yang tidak merampas hak asasi manusia.
Dalam koflik inilah, penulisan mengungkapkan macam-macam hukum pidana islam tersebut seperti gabungan hukuman yang mana hukuman itu terlihat sangat berat karena terdapat beberapa tindakan pidana yang dilakukan seseorang secara berturut-turut sebelum adanya keputusan. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama`, sehingga menimbulkan perbedaan hukuman antara sebelum adanya keputusan. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama`, sehingga menimbulkan perbedaan hukuman antaraa sebelum adanya keputusan. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama`, sehingga menimbulkan perbedaan hukuman antara satu dengan yang lainnya.

BAB II
PEMBAHASAN

a. Pengertian Gabungan Hukuman
Menurut kamus bahasa indonesia karangan s. Wojo Wasito hukuman berarti, siksaan atau pembalasan kejahatan. ( kesalahan dosa) dalam bahasa arab disebut iqab dan uqubah.
Sedangka Abdul Qadir Audah memberi definisi hukuman sebagai berikut :
العقوبة هي الجزاء المقر رالمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Artinya :
Hukuman adalah pembalasan atau pelanggaran perintah syara` yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.

Jadi gabungan hukuman adalah serangkaian saksi yang diterapakan kepada seorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah (pidana) secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah yang satu dengan yang lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.

b. Macam-macam Gabungan Hukuman
1. Gabungan anggapan (concurcus idealis)
Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya hanya berbuat satu jarimah.
Contoh :
Seorang memukul petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunya menganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehinnga oleh hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan petugas.

2. Gabungan nyata (concurcus realis)
Yaitu seorang melakukan perbuatan jarimah ganda secara jelas, baik berkenaan dengan jelas atau berbeda.
Contoh :
Sulaiman lakukan pemerkosaan terhadap habibah sebelulm dijatuhi hukuman sualaiman melakukan pembunuhan terhadap ali sobri (contoh jarimah ganda berbeda). Adapun jarimah sejenis adalah sulaiman melakukan pembunuhan terhadap Syaikhun Adim sebelum dihukum dia melakukan pembunuhan lagi terhadap Azmi.
c. Pertimbangan fuqaha tentang eksistensi gabungan hukuman yang berdasarkan atas dua teori :
1. Teori saling memasuki atau melengkapi
Dalam teori ini yang dimaksudkan oleh menulis, bahwa pelaku jarimah dikenakan suatu hukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan satu dengan yang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini ada dua pertimbangan.
a. Bila pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukuman dianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi, maka ia dapat dikenakan hukuman lagi.
Contoh :
Hamim mencuri sebelum mencuri ia dikenakan hukuman dan ia mencuri lagi.
b. Bila jarimah yang dilakukan oleh seorang secara berulang-ulang dan terdiri dari bermacam – macam jarimah, maka pelakupun bisa dikenakan satu hukuman, dengan syarat bahwa penjatuhan hukuman itu melindungi kepentingan bersama dan untuk mewujudkan tujuan yang sama.
Contoh :
Ali sobri memakan daging babi, kemudian meminum khomer serta makan bangkai.
2. Teori penyerapan
Yang dimaksud dari teori ini adalah penjatuhan hukuman dengan menghilangkan hukuman yang lain karena telah diserap oleh hukuman yang lebih berat.
Contoh :
Syaikhon adim dijatuhkan hukuman mati yang lain diaggap tidak, karena telah diserap oleh hukuman mati.
Teori penyerapan ini dipegang oleh abu hanifah, imam malik, dan imam ahmad. Sedangkan imam syafi`k menolak, beliau perpendapat bahwa semua hukuman harus dijatuhkan satu persatu adapun taktik pelaksanaannya ialah mendahulukan hak adami daripada hak Allah.
Contoh :
Hak adami seperti diyat (jarimah yang dilakukan tanpa disengaja seperti peluru nyasar atau semi sengaja melempar orang dengan batu kemudian dia mati)
Hal Allah seperti (mencuri, berzina, membunuh), yang sifatnya sengaja.

Sekalipun dalam islam sendiri mengakui adanya jarimah qisas, diat, tetapi tidak selalu yang dibayangkan. Islam justru dalam menerapkan hukuman sangat memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat. Ditegakkannya hukuman dalam islam pada prinsipnya ialah demi kemaslahatan manusia.

BAB III
KESIMPULAN


Dalam islam mempunyai berbagai macam halaman, salah satunya gabungan hukuman yang artinya serangkai saksi yang diterapkan kepada seseorang apabila ia benar-benar telah melakukan tidakan pidana secara berulang-ulang diantara perbuatan perbuatannya tersebut antara yang satu dengan yang lain belum ada keputusan.
Dalam gabungan hukuman terdapat perbedaan pendapat antara para fuqaha diantaranya pendapat imam maliki, hanafi, dan ahmad menyatakan apabila gabungan hukuman itu berupa hukuman mati, maka dengan sendirinya jarimah-jarimah yang telah di lakukannya terhadapus, berbeda dengan pendapat imam syafi`I yang mengemukakan semua jarimah di hukum satu – persatu. Dan cara pelaksanaan hukumannya didahulukan hak adami kemudian baru hak Allah.

DAFTAR PUSTAKA


Rahmatr Hakim, Hukum Pidana Islam (Bandung : Pusataka setia, 2000 )
Abd. Al-Qadir Awdah, at-Tasyri…….II
Mahrus Munajad, Dekontruksi Hukum Pidana Islam (Djogjakarta : Logung Pustaka, 2004)
Djazuli, Fiqih Jarimah (Jakarta : Raja Grafindo persada, 2007)
Ahmad Ali al-Jjurjawi, Hikmah al-tasyri` wa Falsafatubu, (kairo: al-Maktabahalhalabs, (t)
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta : bulan bintang, 1968)
read more “JARIMAH”

Monday, June 16, 2008

SYAIR CINTA UNTUK KEKASIH

SYAIR CINTA UNTUK KEKASIH

Sayangku,

kenalilah musim hujan yang basah

dan kemarau yang meranggaskan daun-daun kering

di sepanjang hari dalam dua belas purnama

karena cintaku bersemi di dua musim

kenalilah gelisah angin di antara buluh-buluh bambu

yang meliuk ke kanan dan meliuk ke kiri

yang menggemerisik di antara sunyi

karena ada bisikan tentang gelisahku

ketika senja turun di bukit-bukit tak berpenghuni

ada rona yang dilukiskan pada latar langitnya

merah membara dan kadang-kadang lembayung

kenalilah warnanya yang disapukan dari rinduku

sayangku,

malam-malamku adalah catatan tentang cinta

dinginnya menghangatkan dan memberi aroma rasa

aku jejaki purnama yang tenggelam di antara awan

dan aku ingin terbenam bersama cinta yang kau bawa

read more “SYAIR CINTA UNTUK KEKASIH”