BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan pengalaman tindak pidana merupakan sebuah perbuatan yang dapat merugikan masyarakat bahkan juga dapat merugikan sebuah Negara, mayoritas tidak pidana yang dilakukan pada sebuah Negara yang menyebabkan kerugian Negara biasanya dilakukan oleh seorang Militer, TNI, maupun ABRI. Jadi tindak pidana tersebut secara khusus pelakunya berstatus militer.
Melihat dari pelatihan dan pendidikan yang diberikan kepada seorang militer atau kepada beberapa calon militer semuanya tidak lepas dari kekerasan, pendidikan kekerasan yang diberikan didalam kemiliterannya dapat berpengaruh besar terhadap seorang militer untuk melakukan kekerasan.
Oleh sebab itu tindak pidana KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) akan dapat mudah dilakukan oleh seorang militer, dalam ini tidak ada ketetapan dan penegasan hukum dari pemerintah yang mengatur tentang tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota militer. Lain halnya dengan seorang militer yang melakukan tindak pidana umum dan tindak pidana militer semua itu telah diatur tersendiri, dalam undang-udang No. 31 tahun 1997 juga mengatur tentang hal ini.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan dalam hal ini tidak adanya ketegasan dari pemerintah dalam menindak lanjuti tindak pidana KDRT yang dilakukan anggota milier sehingga tidak ada kapastian hukum untuk megadilinya, apakah tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota militer akan diadili dengan undang udang KUHPM atau akan di proses dalam peradilan umum KUHP, apa mungkin ditindak lanjuti dengan undang undang kdrt itu sendiri Undang-Undang No. 23 Tahun 2004.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT )
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga, Kekerasan dalam rumah tagga disingkat (KDRT).
Dalam masyarakat Selama ini, ada ungkapan "Bila di luar rumah banyak penjahat yang senantiasa mengancam kenyamanan dan keamananan kita, malah di rumah jauh lebih tidak aman". Artinya, rumah dengan tindak kekerasan di dalamnya sangatlah mungkin terjadi apalagi kekerasan yang ada didalamnya sulit dideteksi penegak hukum, selain terlindung oleh pernikahan sebagai lembaga pengikat yang memberntuk sebuah keluarga, KDRT juga masih tertutup dan selalu dianggap sebagai masalah domestik.
Banyak hal yang telah terjadi didalam lapisan masyarakat suatu kekerasan dalam rumah tangga dan perempuan, maka dari itu gerakan Perempuan Indonesia secara bergandengan tangan dengan berbagai pihak, melakukan berbagai upaya untuk dapat diterbitkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kenyataan menunjukan pula bahwa sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Lagipula, masih sangat kuatnya budaya patriarki di kalangan legislatif, di kalangan penegak hukum, dan di kalangan masyarakat sendiri, menyebabkan bahwa perjuangan berlangsung sangat sukar dan lambat.
Pada tanggal 22 September 2004, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diundangkan di Jakarta. Oleh sebab itu Bila selama ini pelaku sulit di jerat dengan KUHP, maka saat ini bisa diadukan dengan UU KDRT ini. Latar belakang adanya undang-undang ini juga sebagai bentuk akomodatif dari kelemahan KUHP dalam menjerat tindak 'kriminal' dalam rumah tangga," karena KUHP tidak menampung jenis kekerasan dalam rumah tangga dalam pasal-pasalnya
Dengan adanya UU KDRT ini, masyarakat wajib berpartisipasi, bila melihat KDRT harus melapor, bila tidak masyarakat sendiri bisa dituntut sebagai pihak yang turut serta. KDRT tidak hanya berlaku untuk suami-istri, namun seluruh anggota keluarga, saudara yang tinggal satu rumah, termasuk pembantu, dan lain sebagainya.
Bila masyarakat masih kurang memahami tentang hak dan kewajibannya, dalam implementasinya peran lembaga penegak hukum, Masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah maupun nonpemerintah yang konsen terhadap pencegahan tindak kekerasan dalam rumah tangga berkewajiban menyosialisasikannya.
2.2 Tindak Pidana Militer dan KDRT
Secara yuridis normatif, istilah tindak pidana militer dapat dilihat dalam penjelasan pasal 9 RUU Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomo 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana militer adalah tindak pidana secara khusus hanya ditujukan pelakunya berstatus militer. Singkatnya bisa dikatakan tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang militer karena sifatnya yang militer. Secara teori tindak pidana militer dibagi menjadi dua yaitu :
a. Tindak pidana militer murni (zuiver militaire delich) adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer karena sifatnya yang khusus militer, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
b. Tindak pidana campuran (gemende militaire delich) adalah suatu perbuatan yang terlarang yang sebenarnya sudah ada peraturannya hanya peraturan itu berada pada perundang-undangan yang lain. Sedangkan ancaman hukumannya dirasakan terlalu ringan apabila peraturan itu dilakukan oleh seorang milier. Oleh karena itu perbuatan yang telah diatur dalam Undang Undang lain yang jenisnya sama, diatur kembali dalam KUHPM disertai ancaman hukuman yang lebih berat, sesuai dengan kekhasan militer.
Peradilan Militer memiliki yurisdiksi mengadili semua tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI atau militer sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Tindak pidana tersebut, baik tindak pidana umum sebagaimana terdapat dalam KUHP maupun undang-undang di luar KUHP yang memiliki ancaman pidana, seperti Undang-undang narkotika , Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Keimigrasian, dan lain-lain, juga tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM. Namun dengan ditetapkannya Ketetapan MPR RI Nomor: VII/MPR/2000, khususnya Pasal 3 ayat (4) huruf a, maka prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum akan diadili di Peradilan Umum.
Ketegasan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi, Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga, tindakan tersebut bisa terjadi oleh siapa saja yang berumah tangga, baik pelaku tersebut berstatus militer, TNI, atau warga sipil biasa.
Berdasarkan pengalaman TNI dan semua angakatan militer memang terdidik dengan kekerasan, hal ini sangatlah berpengaruh besar terhadap seorang TNI atau militer untuk melakukan hal itu. Memang tidak ada kepastian hukum dalam hal peradilan untuk mengadili masalah ini, Telah kita kenal dalam ilmu hukum pidana sebuah pemabagian pidana sebagai berikut :
1. Pidana umum
Sebuah pidana yang berlaku umum sebagaimana yang telah diatar dalam KUHP, beserta semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP itu sendiri.
2. Pidana khusus
Pidana yang tidak diatau dalam pidana umum (KUHP), atau perundang-udangan yang berada diluar KUHP yang bersaksi pidana, beserta perundang-undangan yang mengubah dan menambahnya.
Dari pembagian tindak pidana diatas dapat diketahui bahwa tindak pidana KDRT ini merupakan tindak pidana khusus yang dilakukan oleh anggota jajaran militer dan mempuanyai undang-udang tersendiri. begitu juga dengan kekerasan dalam rumah tangga KDRT yang bertujuan untuk melindungi rumah tangga dalam menuju rumah tangga yang harmonis. Undang Undang KDRT menjelaskan dalam pasal 5 :
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual ; atau
d. Penelantaran rumah tangga.
Dalam hal ini peraturan yang mengatur dalam undang undang KDRT adalah dalam ruang lingkup rumah tangga sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 2 undang undang No 23 Tahun 2004. apabila tindak pidana KDRT ini dilakukan oleh seorang militer, hal ini merupakan tindak pidana campuran yang dilakukan seorang anggota militer.
2.3 Analisis
Pada dasarnya memang bahwa setiap warga Negara memiliki status yang sama dalam dihadapan hukum, tidak satupun boleh dibeda-bedakan dan tidak boleh ada pengecualian, demikian bunyi pasal 27 Ayat (1) UUD RI tahun 1945. memengingat hal ini undang undang No 23 tahun 2004 merupakan suatu hukum positif yang ditetapkan oleh pemerintah jadi setiap warga Negara di seluruh Indonesia wajib mematuhi undang undang tersebut terhitung sejak ditetapkannya undang undang itu.
Seorang anggota militer yang melanggar undang undang no. 23 tahun 2004 atau tindak pidana KDRT memang tidak ada kepastian hukum yang mengaturnya, baik dalam tindak pidana umum KUHP maupun KUHPM itu sendiri. Dalam undang undang no. 23 tahun 2004 yang mana undang undang tersebut yang mengatur tentang penghapusan KDRT tidak mengatur apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh seorang anggota militer, sebagaimana yang dilaskan pada pasal 1 ayat (4) ;
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga, social, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Dalam penjelasan pasal diatas sudah jelas tidak ada kejelasan bahwa yang melakukan adalah seorang anggota militer, yang ada hanyalah anggota keluarga, advokat, lembaga, sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, jadi seandainya tindak pidana ini dilakukan oleh seorang militer tidak ada hukuman baginya, karna undang-undang no. 23 tahun 2004 tidak melarang seorang militer untuk melakukan hal itu.
Bertolak belakang dengan undang undang pasal 27 Ayat (1) UUD RI tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara memiliki status yang sama dalam dihadapan hukum, tidak satupun boleh dibeda-bedakan dan tidak boleh ada pengecualian, oleh karena itu dalam tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota militer tidak ada kejelasan dan tidak ada kepastian hukum dalam pemerintah.
Bisa saja dikatakan apabila seorang anggota militer yang melakukan tidak pidana kekerasan dalam rumah tangga tidak tidak dapat di pidana kalau memang hal ini tidak diatur denga jelas. oleh karena telah ada peraturan pemerintah yang mengetur tentang KDRT dan karena untuk kesejahteraan dan keamanan rumah tangga maka anggota militer tidak boleh tidak harus diadili dengan Undang Undang No. 23 Tahun 2004, dengan hukuman yang telah dijelaskan dalam undang undang tersebut, baik berupa sanksi administrative, mutasi hukuman sel, dll.
Tetapi dalam hal ini harus sekiranya pemerintah memberikan kepastian hokum, terkait dengan pelanggaran hokum dan mekanisme peradilan yang telah dilakukan oleh anggota jajaran TNI angkatan laut (marinir) POMAL Lantamal III, dan semuanya yang berstatus militer. Serta harus pula menegaskan adanya pemisahan proses hokum tindak pidana, terumatama dalam KDRT ini mengingat banyaknya kasus tindak pidana KDRT dan tindak pidana lainnya seperti tindak pidana perempuan yang penyelesaiannya tidak jelas dan terbuka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demikianlah penjelasan dari saya dalam pembahasan tentang pelanggaran tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh seorang anggota milter yang mana disini tidak ada kepastian hokum yang mengaturnya, Tetapi dalam hal ini harus sekiranya pemerintah memberikan kepastian hokum, terkait dengan pelanggaran hokum dan mekanisme peradilan yang telah dilakukan oleh anggota jajaran TNI angkatan laut (marinir) POMAL Lantamal III, dan semuanya yang berstatus militer. Serta harus pula menegaskan adanya pemisahan proses hokum tindak pidana, terumatama dalam KDRT ini mengingat banyaknya kasus tindak pidana KDRT dan tindak pidana lainnya yang penyelesaiannya tidak jelas dan terbuka.
3.2 Saran
Memang mungkin dalam makalah ini sangat banyak kesalahan atau hal-hal yang kurang sempurna baik dari segi isi penulisan dan bahasa serta kata yang kurang benar menurut istirlah gramer bahasa Indonesia, karena itu merupakan pelajaran bagi saya. Tidak ada hal yang sempurna kecuali kesempurnaan itu sendiri kritik dan saran meskipun sekecil apapun dari para pembaca sangat saya harapkan dan sangat berharga bagi saya untuk kesempurnaan penulisan makalah yang selanjutnya agar lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Undang Undang No. 23 Tahun 2004
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Renika Cipta, 1994)
Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Bandung; CV. Mandar Maju, 2006)
Achamad Fauzan, Himpunan Undang Undang Lengkap Tentang Badan Peradilan, (Bandung; Yrama Widya, 2007)
KUHPM
(Forum Pembaca Kompas ) Pres Release : Perampasan Kemerdekaan Hak-Hak Sipil Yang Di duga dilakukan oleh Oknum Militer Widianis Indranata.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan pengalaman tindak pidana merupakan sebuah perbuatan yang dapat merugikan masyarakat bahkan juga dapat merugikan sebuah Negara, mayoritas tidak pidana yang dilakukan pada sebuah Negara yang menyebabkan kerugian Negara biasanya dilakukan oleh seorang Militer, TNI, maupun ABRI. Jadi tindak pidana tersebut secara khusus pelakunya berstatus militer.
Melihat dari pelatihan dan pendidikan yang diberikan kepada seorang militer atau kepada beberapa calon militer semuanya tidak lepas dari kekerasan, pendidikan kekerasan yang diberikan didalam kemiliterannya dapat berpengaruh besar terhadap seorang militer untuk melakukan kekerasan.
Oleh sebab itu tindak pidana KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) akan dapat mudah dilakukan oleh seorang militer, dalam ini tidak ada ketetapan dan penegasan hukum dari pemerintah yang mengatur tentang tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota militer. Lain halnya dengan seorang militer yang melakukan tindak pidana umum dan tindak pidana militer semua itu telah diatur tersendiri, dalam undang-udang No. 31 tahun 1997 juga mengatur tentang hal ini.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan dalam hal ini tidak adanya ketegasan dari pemerintah dalam menindak lanjuti tindak pidana KDRT yang dilakukan anggota milier sehingga tidak ada kapastian hukum untuk megadilinya, apakah tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota militer akan diadili dengan undang udang KUHPM atau akan di proses dalam peradilan umum KUHP, apa mungkin ditindak lanjuti dengan undang undang kdrt itu sendiri Undang-Undang No. 23 Tahun 2004.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT )
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga, Kekerasan dalam rumah tagga disingkat (KDRT).
Dalam masyarakat Selama ini, ada ungkapan "Bila di luar rumah banyak penjahat yang senantiasa mengancam kenyamanan dan keamananan kita, malah di rumah jauh lebih tidak aman". Artinya, rumah dengan tindak kekerasan di dalamnya sangatlah mungkin terjadi apalagi kekerasan yang ada didalamnya sulit dideteksi penegak hukum, selain terlindung oleh pernikahan sebagai lembaga pengikat yang memberntuk sebuah keluarga, KDRT juga masih tertutup dan selalu dianggap sebagai masalah domestik.
Banyak hal yang telah terjadi didalam lapisan masyarakat suatu kekerasan dalam rumah tangga dan perempuan, maka dari itu gerakan Perempuan Indonesia secara bergandengan tangan dengan berbagai pihak, melakukan berbagai upaya untuk dapat diterbitkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kenyataan menunjukan pula bahwa sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Lagipula, masih sangat kuatnya budaya patriarki di kalangan legislatif, di kalangan penegak hukum, dan di kalangan masyarakat sendiri, menyebabkan bahwa perjuangan berlangsung sangat sukar dan lambat.
Pada tanggal 22 September 2004, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diundangkan di Jakarta. Oleh sebab itu Bila selama ini pelaku sulit di jerat dengan KUHP, maka saat ini bisa diadukan dengan UU KDRT ini. Latar belakang adanya undang-undang ini juga sebagai bentuk akomodatif dari kelemahan KUHP dalam menjerat tindak 'kriminal' dalam rumah tangga," karena KUHP tidak menampung jenis kekerasan dalam rumah tangga dalam pasal-pasalnya
Dengan adanya UU KDRT ini, masyarakat wajib berpartisipasi, bila melihat KDRT harus melapor, bila tidak masyarakat sendiri bisa dituntut sebagai pihak yang turut serta. KDRT tidak hanya berlaku untuk suami-istri, namun seluruh anggota keluarga, saudara yang tinggal satu rumah, termasuk pembantu, dan lain sebagainya.
Bila masyarakat masih kurang memahami tentang hak dan kewajibannya, dalam implementasinya peran lembaga penegak hukum, Masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah maupun nonpemerintah yang konsen terhadap pencegahan tindak kekerasan dalam rumah tangga berkewajiban menyosialisasikannya.
2.2 Tindak Pidana Militer dan KDRT
Secara yuridis normatif, istilah tindak pidana militer dapat dilihat dalam penjelasan pasal 9 RUU Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomo 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana militer adalah tindak pidana secara khusus hanya ditujukan pelakunya berstatus militer. Singkatnya bisa dikatakan tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang militer karena sifatnya yang militer. Secara teori tindak pidana militer dibagi menjadi dua yaitu :
a. Tindak pidana militer murni (zuiver militaire delich) adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer karena sifatnya yang khusus militer, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
b. Tindak pidana campuran (gemende militaire delich) adalah suatu perbuatan yang terlarang yang sebenarnya sudah ada peraturannya hanya peraturan itu berada pada perundang-undangan yang lain. Sedangkan ancaman hukumannya dirasakan terlalu ringan apabila peraturan itu dilakukan oleh seorang milier. Oleh karena itu perbuatan yang telah diatur dalam Undang Undang lain yang jenisnya sama, diatur kembali dalam KUHPM disertai ancaman hukuman yang lebih berat, sesuai dengan kekhasan militer.
Peradilan Militer memiliki yurisdiksi mengadili semua tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI atau militer sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Tindak pidana tersebut, baik tindak pidana umum sebagaimana terdapat dalam KUHP maupun undang-undang di luar KUHP yang memiliki ancaman pidana, seperti Undang-undang narkotika , Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Keimigrasian, dan lain-lain, juga tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM. Namun dengan ditetapkannya Ketetapan MPR RI Nomor: VII/MPR/2000, khususnya Pasal 3 ayat (4) huruf a, maka prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum akan diadili di Peradilan Umum.
Ketegasan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi, Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga, tindakan tersebut bisa terjadi oleh siapa saja yang berumah tangga, baik pelaku tersebut berstatus militer, TNI, atau warga sipil biasa.
Berdasarkan pengalaman TNI dan semua angakatan militer memang terdidik dengan kekerasan, hal ini sangatlah berpengaruh besar terhadap seorang TNI atau militer untuk melakukan hal itu. Memang tidak ada kepastian hukum dalam hal peradilan untuk mengadili masalah ini, Telah kita kenal dalam ilmu hukum pidana sebuah pemabagian pidana sebagai berikut :
1. Pidana umum
Sebuah pidana yang berlaku umum sebagaimana yang telah diatar dalam KUHP, beserta semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP itu sendiri.
2. Pidana khusus
Pidana yang tidak diatau dalam pidana umum (KUHP), atau perundang-udangan yang berada diluar KUHP yang bersaksi pidana, beserta perundang-undangan yang mengubah dan menambahnya.
Dari pembagian tindak pidana diatas dapat diketahui bahwa tindak pidana KDRT ini merupakan tindak pidana khusus yang dilakukan oleh anggota jajaran militer dan mempuanyai undang-udang tersendiri. begitu juga dengan kekerasan dalam rumah tangga KDRT yang bertujuan untuk melindungi rumah tangga dalam menuju rumah tangga yang harmonis. Undang Undang KDRT menjelaskan dalam pasal 5 :
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual ; atau
d. Penelantaran rumah tangga.
Dalam hal ini peraturan yang mengatur dalam undang undang KDRT adalah dalam ruang lingkup rumah tangga sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 2 undang undang No 23 Tahun 2004. apabila tindak pidana KDRT ini dilakukan oleh seorang militer, hal ini merupakan tindak pidana campuran yang dilakukan seorang anggota militer.
2.3 Analisis
Pada dasarnya memang bahwa setiap warga Negara memiliki status yang sama dalam dihadapan hukum, tidak satupun boleh dibeda-bedakan dan tidak boleh ada pengecualian, demikian bunyi pasal 27 Ayat (1) UUD RI tahun 1945. memengingat hal ini undang undang No 23 tahun 2004 merupakan suatu hukum positif yang ditetapkan oleh pemerintah jadi setiap warga Negara di seluruh Indonesia wajib mematuhi undang undang tersebut terhitung sejak ditetapkannya undang undang itu.
Seorang anggota militer yang melanggar undang undang no. 23 tahun 2004 atau tindak pidana KDRT memang tidak ada kepastian hukum yang mengaturnya, baik dalam tindak pidana umum KUHP maupun KUHPM itu sendiri. Dalam undang undang no. 23 tahun 2004 yang mana undang undang tersebut yang mengatur tentang penghapusan KDRT tidak mengatur apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh seorang anggota militer, sebagaimana yang dilaskan pada pasal 1 ayat (4) ;
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga, social, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Dalam penjelasan pasal diatas sudah jelas tidak ada kejelasan bahwa yang melakukan adalah seorang anggota militer, yang ada hanyalah anggota keluarga, advokat, lembaga, sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, jadi seandainya tindak pidana ini dilakukan oleh seorang militer tidak ada hukuman baginya, karna undang-undang no. 23 tahun 2004 tidak melarang seorang militer untuk melakukan hal itu.
Bertolak belakang dengan undang undang pasal 27 Ayat (1) UUD RI tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara memiliki status yang sama dalam dihadapan hukum, tidak satupun boleh dibeda-bedakan dan tidak boleh ada pengecualian, oleh karena itu dalam tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota militer tidak ada kejelasan dan tidak ada kepastian hukum dalam pemerintah.
Bisa saja dikatakan apabila seorang anggota militer yang melakukan tidak pidana kekerasan dalam rumah tangga tidak tidak dapat di pidana kalau memang hal ini tidak diatur denga jelas. oleh karena telah ada peraturan pemerintah yang mengetur tentang KDRT dan karena untuk kesejahteraan dan keamanan rumah tangga maka anggota militer tidak boleh tidak harus diadili dengan Undang Undang No. 23 Tahun 2004, dengan hukuman yang telah dijelaskan dalam undang undang tersebut, baik berupa sanksi administrative, mutasi hukuman sel, dll.
Tetapi dalam hal ini harus sekiranya pemerintah memberikan kepastian hokum, terkait dengan pelanggaran hokum dan mekanisme peradilan yang telah dilakukan oleh anggota jajaran TNI angkatan laut (marinir) POMAL Lantamal III, dan semuanya yang berstatus militer. Serta harus pula menegaskan adanya pemisahan proses hokum tindak pidana, terumatama dalam KDRT ini mengingat banyaknya kasus tindak pidana KDRT dan tindak pidana lainnya seperti tindak pidana perempuan yang penyelesaiannya tidak jelas dan terbuka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demikianlah penjelasan dari saya dalam pembahasan tentang pelanggaran tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh seorang anggota milter yang mana disini tidak ada kepastian hokum yang mengaturnya, Tetapi dalam hal ini harus sekiranya pemerintah memberikan kepastian hokum, terkait dengan pelanggaran hokum dan mekanisme peradilan yang telah dilakukan oleh anggota jajaran TNI angkatan laut (marinir) POMAL Lantamal III, dan semuanya yang berstatus militer. Serta harus pula menegaskan adanya pemisahan proses hokum tindak pidana, terumatama dalam KDRT ini mengingat banyaknya kasus tindak pidana KDRT dan tindak pidana lainnya yang penyelesaiannya tidak jelas dan terbuka.
3.2 Saran
Memang mungkin dalam makalah ini sangat banyak kesalahan atau hal-hal yang kurang sempurna baik dari segi isi penulisan dan bahasa serta kata yang kurang benar menurut istirlah gramer bahasa Indonesia, karena itu merupakan pelajaran bagi saya. Tidak ada hal yang sempurna kecuali kesempurnaan itu sendiri kritik dan saran meskipun sekecil apapun dari para pembaca sangat saya harapkan dan sangat berharga bagi saya untuk kesempurnaan penulisan makalah yang selanjutnya agar lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Undang Undang No. 23 Tahun 2004
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Renika Cipta, 1994)
Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Bandung; CV. Mandar Maju, 2006)
Achamad Fauzan, Himpunan Undang Undang Lengkap Tentang Badan Peradilan, (Bandung; Yrama Widya, 2007)
KUHPM
(Forum Pembaca Kompas ) Pres Release : Perampasan Kemerdekaan Hak-Hak Sipil Yang Di duga dilakukan oleh Oknum Militer Widianis Indranata.
0 comments:
Post a Comment