Seberapa validkah kita mampu mengukur antara kesetiaan cinta dan logika dusta? Dalam bahasa yang lebih sederhana, bisakah kita mencintai seseorang sekaligus medustainya dalam waktu yang bersamaan?
Pertanyaan ini mungkin terkesan apologetik dan paradoks. Apologetik, karena dalam konteks tertentu, kita seringkali terlena pada pembelaan diri yang berlebihan ketika konflik internal dalam hati menuai selaksa kepedihan. Paradoks, karena term cinta yang katanya sakral itu terjerembab pada hingar-bingar dominasi rasa yang sebenarnya hanyalah letupan-letupan ketakberdayaan membawa diri saja.
Tapi toh kita seringkali memaknai cinta dan rasa dengan logika kita sendiri, dengan defenisi dan terminologi kita sendiri. Maka paradoks cinta itu kian kentara, dan cenderung ambivalens. Bahkan, cinta sering dijadikan kambing hitam untuk mencari stigma-stigma pembenarannya.
“Tapi itu bukan cinta!” Begitu mungkin kilah para pujangga. Itu hanya nafsu yang dibiaskan dengan gelora cinta! Ya, ya.... kita bebas mendefinisikan cinta semau kita, sesuka kita. Terserah para ahli mengartikan cinta menurut versinya masing-masing. Ada cinta buta, cinta mati, cinta palsu, dan cinta-cinta yang lain. Mau ada dusta yang terselubung dalam cinta, mau ada benci yang dicaci dalam hati, mau ada bahagia yang dieja dalam suka, silahkan!
Hanya satu yang barangkali perlu disadari, bahwa memiliki dan kehilangan adalah dua sisi kehidupan. Silahkan pilih yang kita sukai, silahkan genggam yang kita miliki, toh saatnya nanti kita akan kehilangannya....
Pertanyaan ini mungkin terkesan apologetik dan paradoks. Apologetik, karena dalam konteks tertentu, kita seringkali terlena pada pembelaan diri yang berlebihan ketika konflik internal dalam hati menuai selaksa kepedihan. Paradoks, karena term cinta yang katanya sakral itu terjerembab pada hingar-bingar dominasi rasa yang sebenarnya hanyalah letupan-letupan ketakberdayaan membawa diri saja.
Tapi toh kita seringkali memaknai cinta dan rasa dengan logika kita sendiri, dengan defenisi dan terminologi kita sendiri. Maka paradoks cinta itu kian kentara, dan cenderung ambivalens. Bahkan, cinta sering dijadikan kambing hitam untuk mencari stigma-stigma pembenarannya.
“Tapi itu bukan cinta!” Begitu mungkin kilah para pujangga. Itu hanya nafsu yang dibiaskan dengan gelora cinta! Ya, ya.... kita bebas mendefinisikan cinta semau kita, sesuka kita. Terserah para ahli mengartikan cinta menurut versinya masing-masing. Ada cinta buta, cinta mati, cinta palsu, dan cinta-cinta yang lain. Mau ada dusta yang terselubung dalam cinta, mau ada benci yang dicaci dalam hati, mau ada bahagia yang dieja dalam suka, silahkan!
Hanya satu yang barangkali perlu disadari, bahwa memiliki dan kehilangan adalah dua sisi kehidupan. Silahkan pilih yang kita sukai, silahkan genggam yang kita miliki, toh saatnya nanti kita akan kehilangannya....
oleh : baha
0 comments:
Post a Comment