oleh TSANIN A. ZUHAIRY
Pengantar
Setiap penelitian dan observasi senantiasa bermuara pada sebuah pengetahuan. Dan pengetahuan yang akan dihasilkan juga bergantung pada objek yang akan diteliti. Meminjam distingsi W. Dilthey, jika obyek yang diteliti dan diobservasibertaut dengan berbagai gejala alam, maka masuk ke dalam tipe ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Tapi, jika obyek yang diteliti dan diobservasi terkait dengan gejala kemanusiaan dan kebudayaan, maka masuk ke dalam tipe ilmuilmu roh/budaya (geisteswissenschaften).
Persoalannya sekarang, apakah dengan perbedaan obyek itu, juga diperlukan pendekatan yang berbeda? Jawabannya dalam sejarah filsafat pengetahuan sampai saat ini tidak seragam. Salah satu jawaban yang mendominasi dunia intelektual sejak puncak zaman modern ini adalah tak perlu ada perbedaan pendekatan.2 Karena pendekatan ilmu-ilmu alam telah sukses menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi. Diyakini bahawa sukses yang sama juga akan diperoleh jika pendekatan yang sama diterapkan dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan seluruh wilayah kenyataan, termasuk kenyataan sosial. Pandangan ini dipopulerkan Auguste Comte, Ernst March, para filsuf Lingkungan Wina, yang notabene sebagai tokoh dan penganut aliran Positivisme.
Pendekatan ilmu-ilmu alam yang meniscayakan adanya distansi penuh, netralitas, bebas kepentingan, universal dan dapat diterapkan secara instrumental diandaikan oleh positivisme dapat diterapkan pada penelitian sosial. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dipahami sebagai potret fakta sosial yang bebas dari kepentingan (free value), tidak mengandung interpretasi subyektif dari penelitinya. Siapapun orangnya, asal memenuhi prosedur-prosedur penelitian yang dibuat ilmu alam, tidak akan mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan. Sehingga pengetahuan itu dapat dipakai secara instrumental oleh siapa saja, karena sifatnya yang universal dan instrumental.3
Paradigma-paradigma semacam itu, kini turut mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu di Indonesia. Baik secara canggih atau kasar, pendekatan ilmu alam juga diterapkan dalam penelitian sosial, seolah tanpa persoalan. Padahal, dengan paradigma semacam itu, sebuah penelitian hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang das sein (apa yang ada) bukan das sollen (apa yang seharusnya ada). Dengan cara itu, pengetahuan tidak mendorong perubahan, tapi hanya menyalin data sosial. Di sini positivisme mengidap sebuah masalah, bukan hanya bagi ilmu pengetahuan (episteme), melainkan juga bagi kemanusiaan.4
Memang, dewasa ini positivisme telah mengalami pembaruan dalam beberapa segi, seperti digagas oleh para filsuf Lingkungan Wina (Wiener Kreist) yang dikenal dengan positvisme logis, neo-positivisme atau empirisme logis,5 namun tetap tidak bisa keluar dari karakter aslinya yang bersifat empiris-obyektif, deduktif-nomologis, instrumental dan bebas nilai. Dengan standar itu, positivisme tetap tidak akan mampu menangkap-menangkap proses-proses sosial, seperti tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis.
Verstehen: Paradigma Ilmu Sosial
Dunia kehidupan sosial sebagai wilayah operasi ilmu-ilmu sosial dapat dikatakan sebagai pengetahuan pra-teoritis. Dikatakan demikian, karena dunia kehidupan sebagai objek ilmu-ilmu sosial belum terstruktur secara simbolis. Para pelaku kehidupan sosial dalam berbicara bukan dengan silogisme dan juga bertindak bukan menurut pola hubungan subjek-objek, seperti disebut Habermas dengan ‘tindakan instrumental’. Para pelaku dalam kehidupan sosial hanya mampu berbicara dalam language-games yang melibatkan unsur kognitif, emotif dan volisinal manusia serta bertindak dalam kerangka ‘tindakan komunikatif’: suatu tindakan untuk mencapai pemahaman timbal balik.6
Dunia kehidupan sosial ini tidak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan melalui pemahaman (verstehen). Apa yang ingin ditemukan dalam ilmu sosial bukanlah ‘kausalitas’, melainkan ‘makna’. Karena itu, tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Dalam hal ini, seorang ilmuwan sosial tidak berbeda dengan pelakudalam dunia sosial. Ia harus masuk dan berpartisipasi dalam dunia kehidupan sosial itu.
Pada titik ini, tampak jelas perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam mendekati objeknya. Menyitir pendapat Dilthey, ilmu-ilmu alam hanya berusaha menjelaskan (eklaren) objeknya menurut penyebabnya (kausalitas). Disini pengalaman dan teori berdiri secara diametral. Antara subjek-objek terdapat sebuah distansi. Sementara ilmu-ilmu sosial bertumpu pada verstehen, yakni paduan pengalaman dan pemahaman teoritis. Karena pengalaman dan struktur simbolis yang dihasilkan di dalam dunia kehidupan sosial tak bisa tampak ‘dari luar’ seperti data alamiah yang diobservasi oleh ilmu-ilmu alam, tetapi harus melibatkan subjek sosial itu sendiri. Makna-makna yang terkandung di dalam tindakan, pranata, produk-produk kultural, kata-kata, jaringan-jaringan kerjasama sosial, dokumen-dokumen, dan seterusnya, hanya dapat diketahui ‘dari dalam’.7
Hermeneutik sebagai Alternatif
Kini, bagaimana seorang ilmuwan sosial dapat mengetahui objeknya ‘dari dalam’? Jurgen Habermas menawarakan Hermeneutik sebagai metode alternatif yang dapat digunakan. Metode ini sudah lama dipakai dalam teologi, filsafat, tafsir teks-klasik, tafsir Kitab Suci, dan seterusnya, dan sekarang ini diterapkan pada ilmu-ilmu sosial.
Sejak awal, metode Hermeneutik senantiasa berurusan dengan penafsiran, dan yang ditafsirkan adalah teks. Pengertian “teks” dapat diperluas dalam penelitian sosial menjadi objek-objek dan struktur-struktur simbolis. Teks itu dihasilkan oleh “pengarang” yaitu para pelaku sosial—analogi-analogi teks dan dunia sosial perlu diikuti. Sebagai sebuah teks, masyarakat yang hendak ditafsirkan untuk dipahami dan ditangkap maknanya (sinnverstehen), tentu mengharuskan keterlibatan “peneliti dari dalam”. Keterlibatan itu, menurut Fredrich Schleiermacher menyaratkan adanya empati psikologis. Artinya, peneliti harus mampu masuk kedalam isi teks-sosial (yaitu pranata-pranata, tingkah laku, interaksi, dan seterusnya) sampai “mengalami kembali” pengalaman-pengalaman pengarangnya, yaitu pengalaman para plaku sosial. Bagaimanapun harus disadari, peneliti sesungguhnya adalah reproduksi pengalaman para pelaku sosial.8
Namun, teori empati yang dikampanyekan Schleiermacher dianggap terlalu psikologistis oleh Dilthey. Yang direproduksi, menurut Dilthey, bukanlah pengalaman pengarang atau pelaku sosial, melainkan bagaimana proses teks-sosial itu terbentuk.9 Kalau anda meneliti upacara inisiasi, kepemimpinan desa, karya seni, sistem kepercayaan religius orang Yogya dan seterusnya, anda harus menemukan kaitan-kaitan antara proses-proses mental para pelaku dan bagaimana semua itu dilahirkan dalam bentuk pranata-pranata atau teks sosial itu. Bukan struktur-praksis, melainkan struktur-struktur simbolis.10
Setelah menemukanketerlibatan metodis itu, peneliti perlu menangkap tiga unsur hakiki yang terkandung dalam teks sosial, yaitu pengalaman, ungkapan, dan pemahaman dari pengarang teks-sosial (pelaku sosial). Pengalaman adalah unsur-unsur subjektif yang ada dalam penghayatan internal pelaku-sosial, misalnya hasrat, cita-cita, harapan, pengertian, pandangan, gerak hati, dan seterusnya. Itu semua mendapat bentuk lahiriahnya dalam wujud tingkah laku, gerak-gerik, pranata, karya seni, tulisan, organisasi, dan seterusnya. Pemahaman dari konfrontasi, dialog, dan pencapaian konsensus terjadi. Di sini pula pemahaman dialektis antara pengarang dan peneliti tidak hanya menjadi inti penafsiran hermeneutis, melainkan juga praksis komunikasi.11
1 Tulisan ini secara garis besar disarikan dari buku F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003.
2Bandingkan dengan tulisan Jujun Suriasumantri “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Cet. Keenambelas, Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2006, hal. 19-20.
3F. Budi Hardiman, “Penelitian dan Praksis” dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 23
4‘Masalah’ terjadi karena peralihan masyarakat dari keaadaan lama ke keadaan baru yang belum pasti. Cara berpikir lama (mitis, teologis) ditinggalkan tapi cara berpikir baru (saintis) belum sepenuhnya terintegrasi dalam diri manusia, sehingga hanya menghasilkan keresahan dan kegelisahan yang mendalam akibat belum terbentuknya welltanschauung.
5Lihat, K. Bertens, Fisafat Kontemporer: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, hal 128.
6 F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi:Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, h. 122
7 F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik” dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 63
8 F. Budi Hardiman, “Penelitian dan Praksis”, h. 31
9 F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik”, hal. 64
10 F. Budi Hardiman, Penelitian dan Praksis”, h. 32
11 ‘Praksis’ disini mengacu pada tingkah laku, tindakan, perbuatan, kegiatan-kegiatan manusia. Dan praksis itu bukan “kerja” yang mengacu pada hubungan manusia dengan alam, subjek dengan objek belaka untuk mengontrolnya secara teknis, melainkan komunikasi yang mengacu pada hubungan antar manusia, antar subjek sosial untuk mencapai pemahaman timbal balik.
Setiap penelitian dan observasi senantiasa bermuara pada sebuah pengetahuan. Dan pengetahuan yang akan dihasilkan juga bergantung pada objek yang akan diteliti. Meminjam distingsi W. Dilthey, jika obyek yang diteliti dan diobservasibertaut dengan berbagai gejala alam, maka masuk ke dalam tipe ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Tapi, jika obyek yang diteliti dan diobservasi terkait dengan gejala kemanusiaan dan kebudayaan, maka masuk ke dalam tipe ilmuilmu roh/budaya (geisteswissenschaften).
Persoalannya sekarang, apakah dengan perbedaan obyek itu, juga diperlukan pendekatan yang berbeda? Jawabannya dalam sejarah filsafat pengetahuan sampai saat ini tidak seragam. Salah satu jawaban yang mendominasi dunia intelektual sejak puncak zaman modern ini adalah tak perlu ada perbedaan pendekatan.2 Karena pendekatan ilmu-ilmu alam telah sukses menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi. Diyakini bahawa sukses yang sama juga akan diperoleh jika pendekatan yang sama diterapkan dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan seluruh wilayah kenyataan, termasuk kenyataan sosial. Pandangan ini dipopulerkan Auguste Comte, Ernst March, para filsuf Lingkungan Wina, yang notabene sebagai tokoh dan penganut aliran Positivisme.
Pendekatan ilmu-ilmu alam yang meniscayakan adanya distansi penuh, netralitas, bebas kepentingan, universal dan dapat diterapkan secara instrumental diandaikan oleh positivisme dapat diterapkan pada penelitian sosial. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dipahami sebagai potret fakta sosial yang bebas dari kepentingan (free value), tidak mengandung interpretasi subyektif dari penelitinya. Siapapun orangnya, asal memenuhi prosedur-prosedur penelitian yang dibuat ilmu alam, tidak akan mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan. Sehingga pengetahuan itu dapat dipakai secara instrumental oleh siapa saja, karena sifatnya yang universal dan instrumental.3
Paradigma-paradigma semacam itu, kini turut mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu di Indonesia. Baik secara canggih atau kasar, pendekatan ilmu alam juga diterapkan dalam penelitian sosial, seolah tanpa persoalan. Padahal, dengan paradigma semacam itu, sebuah penelitian hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang das sein (apa yang ada) bukan das sollen (apa yang seharusnya ada). Dengan cara itu, pengetahuan tidak mendorong perubahan, tapi hanya menyalin data sosial. Di sini positivisme mengidap sebuah masalah, bukan hanya bagi ilmu pengetahuan (episteme), melainkan juga bagi kemanusiaan.4
Memang, dewasa ini positivisme telah mengalami pembaruan dalam beberapa segi, seperti digagas oleh para filsuf Lingkungan Wina (Wiener Kreist) yang dikenal dengan positvisme logis, neo-positivisme atau empirisme logis,5 namun tetap tidak bisa keluar dari karakter aslinya yang bersifat empiris-obyektif, deduktif-nomologis, instrumental dan bebas nilai. Dengan standar itu, positivisme tetap tidak akan mampu menangkap-menangkap proses-proses sosial, seperti tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis.
Verstehen: Paradigma Ilmu Sosial
Dunia kehidupan sosial sebagai wilayah operasi ilmu-ilmu sosial dapat dikatakan sebagai pengetahuan pra-teoritis. Dikatakan demikian, karena dunia kehidupan sebagai objek ilmu-ilmu sosial belum terstruktur secara simbolis. Para pelaku kehidupan sosial dalam berbicara bukan dengan silogisme dan juga bertindak bukan menurut pola hubungan subjek-objek, seperti disebut Habermas dengan ‘tindakan instrumental’. Para pelaku dalam kehidupan sosial hanya mampu berbicara dalam language-games yang melibatkan unsur kognitif, emotif dan volisinal manusia serta bertindak dalam kerangka ‘tindakan komunikatif’: suatu tindakan untuk mencapai pemahaman timbal balik.6
Dunia kehidupan sosial ini tidak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan melalui pemahaman (verstehen). Apa yang ingin ditemukan dalam ilmu sosial bukanlah ‘kausalitas’, melainkan ‘makna’. Karena itu, tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Dalam hal ini, seorang ilmuwan sosial tidak berbeda dengan pelakudalam dunia sosial. Ia harus masuk dan berpartisipasi dalam dunia kehidupan sosial itu.
Pada titik ini, tampak jelas perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam mendekati objeknya. Menyitir pendapat Dilthey, ilmu-ilmu alam hanya berusaha menjelaskan (eklaren) objeknya menurut penyebabnya (kausalitas). Disini pengalaman dan teori berdiri secara diametral. Antara subjek-objek terdapat sebuah distansi. Sementara ilmu-ilmu sosial bertumpu pada verstehen, yakni paduan pengalaman dan pemahaman teoritis. Karena pengalaman dan struktur simbolis yang dihasilkan di dalam dunia kehidupan sosial tak bisa tampak ‘dari luar’ seperti data alamiah yang diobservasi oleh ilmu-ilmu alam, tetapi harus melibatkan subjek sosial itu sendiri. Makna-makna yang terkandung di dalam tindakan, pranata, produk-produk kultural, kata-kata, jaringan-jaringan kerjasama sosial, dokumen-dokumen, dan seterusnya, hanya dapat diketahui ‘dari dalam’.7
Hermeneutik sebagai Alternatif
Kini, bagaimana seorang ilmuwan sosial dapat mengetahui objeknya ‘dari dalam’? Jurgen Habermas menawarakan Hermeneutik sebagai metode alternatif yang dapat digunakan. Metode ini sudah lama dipakai dalam teologi, filsafat, tafsir teks-klasik, tafsir Kitab Suci, dan seterusnya, dan sekarang ini diterapkan pada ilmu-ilmu sosial.
Sejak awal, metode Hermeneutik senantiasa berurusan dengan penafsiran, dan yang ditafsirkan adalah teks. Pengertian “teks” dapat diperluas dalam penelitian sosial menjadi objek-objek dan struktur-struktur simbolis. Teks itu dihasilkan oleh “pengarang” yaitu para pelaku sosial—analogi-analogi teks dan dunia sosial perlu diikuti. Sebagai sebuah teks, masyarakat yang hendak ditafsirkan untuk dipahami dan ditangkap maknanya (sinnverstehen), tentu mengharuskan keterlibatan “peneliti dari dalam”. Keterlibatan itu, menurut Fredrich Schleiermacher menyaratkan adanya empati psikologis. Artinya, peneliti harus mampu masuk kedalam isi teks-sosial (yaitu pranata-pranata, tingkah laku, interaksi, dan seterusnya) sampai “mengalami kembali” pengalaman-pengalaman pengarangnya, yaitu pengalaman para plaku sosial. Bagaimanapun harus disadari, peneliti sesungguhnya adalah reproduksi pengalaman para pelaku sosial.8
Namun, teori empati yang dikampanyekan Schleiermacher dianggap terlalu psikologistis oleh Dilthey. Yang direproduksi, menurut Dilthey, bukanlah pengalaman pengarang atau pelaku sosial, melainkan bagaimana proses teks-sosial itu terbentuk.9 Kalau anda meneliti upacara inisiasi, kepemimpinan desa, karya seni, sistem kepercayaan religius orang Yogya dan seterusnya, anda harus menemukan kaitan-kaitan antara proses-proses mental para pelaku dan bagaimana semua itu dilahirkan dalam bentuk pranata-pranata atau teks sosial itu. Bukan struktur-praksis, melainkan struktur-struktur simbolis.10
Setelah menemukanketerlibatan metodis itu, peneliti perlu menangkap tiga unsur hakiki yang terkandung dalam teks sosial, yaitu pengalaman, ungkapan, dan pemahaman dari pengarang teks-sosial (pelaku sosial). Pengalaman adalah unsur-unsur subjektif yang ada dalam penghayatan internal pelaku-sosial, misalnya hasrat, cita-cita, harapan, pengertian, pandangan, gerak hati, dan seterusnya. Itu semua mendapat bentuk lahiriahnya dalam wujud tingkah laku, gerak-gerik, pranata, karya seni, tulisan, organisasi, dan seterusnya. Pemahaman dari konfrontasi, dialog, dan pencapaian konsensus terjadi. Di sini pula pemahaman dialektis antara pengarang dan peneliti tidak hanya menjadi inti penafsiran hermeneutis, melainkan juga praksis komunikasi.11
1 Tulisan ini secara garis besar disarikan dari buku F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003.
2Bandingkan dengan tulisan Jujun Suriasumantri “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Cet. Keenambelas, Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2006, hal. 19-20.
3F. Budi Hardiman, “Penelitian dan Praksis” dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 23
4‘Masalah’ terjadi karena peralihan masyarakat dari keaadaan lama ke keadaan baru yang belum pasti. Cara berpikir lama (mitis, teologis) ditinggalkan tapi cara berpikir baru (saintis) belum sepenuhnya terintegrasi dalam diri manusia, sehingga hanya menghasilkan keresahan dan kegelisahan yang mendalam akibat belum terbentuknya welltanschauung.
5Lihat, K. Bertens, Fisafat Kontemporer: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, hal 128.
6 F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi:Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, h. 122
7 F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik” dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 63
8 F. Budi Hardiman, “Penelitian dan Praksis”, h. 31
9 F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik”, hal. 64
10 F. Budi Hardiman, Penelitian dan Praksis”, h. 32
11 ‘Praksis’ disini mengacu pada tingkah laku, tindakan, perbuatan, kegiatan-kegiatan manusia. Dan praksis itu bukan “kerja” yang mengacu pada hubungan manusia dengan alam, subjek dengan objek belaka untuk mengontrolnya secara teknis, melainkan komunikasi yang mengacu pada hubungan antar manusia, antar subjek sosial untuk mencapai pemahaman timbal balik.
0 comments:
Post a Comment