Saya tidak terbiasa menulis tentang perempuan secara vulgar, apalagi menyangkut dunia perasaan yang menyayat, ritme tangis yang menusuk, nestapa keputusasaan yang menyentak-nyentak naluri. Saya tidak terbiasa, karena dalam nalar kelelakian yang sejati, kita sering dihadapkan pada kondisi psikologi perempuan yang kadang memang paradoks. Dan ketika paradoksalitas itu kian kentara, yang muncul dihadapan kita hanyalah anomali-anomali, ambivalensi-ambivalensi dan term-term lain yang menjebak pada labirin. Ya, paradoksalitas itu saya temukan siang tadi, di pojok kantin IAIN Supel yang pengap, sesak oleh asap rokok yang menari-nari di helai angin.
Maka izinkan saya sedikit bercerita tentang paradoksalitas itu, yang saya tangkap dalam lembar hidup seorang perempuan yang katanya bernama Hany, perempuan supel dan menurut kebanyakan temannya adalah ”lincah”. Saya tidak terlalu jauh menginterogasi diksi lincah yang dikatakan temannya itu. Bagi saya cukup dengan hanya melihat guratan matanya, meski bukan seorang psikolog, saya yakin bahwa dia sedang ”terluka”. Luka yang dibiarkan terus-menerus menganga, nelangsa dalam keterasingan yang panjang dan melelahkan. Ya, dia sebenaranya sedang terasing dengan dirinya sendiri. Sedang berusaha untuk keluar dari himpitan nyeri yang kerap mengungkungnya.
”Semalam aku cuma menyulut satu batang rokok kok. Aku sudah lama tidak dugem, sudah gak minum lagi. Belikan aku rokok sekarang ya, kak. Satu aja....” Teman saya diam tak bergeming. Manatapnya dengan penuh ketakmengertian. Penuh kebingungan antara mengiakan atau mencegahnya.
Saya sendiri hanya tersenyum. Diam. Mendengarkan Hany terus merajut dan akhirnya permintaan itu dikabulkan. Sebungkus rokok Sampoerna Mild tergeletak di atas meja makan, membuat nurani saya mengambang antara tertawa dan miris, antara mimpi dan ironi. ”Sekarang, dia sudah tidak separah dulu.....” begitu temanku pernah berujar. Dalam hati saya berikir, jangan-jangan saya lebih parah ketimbang dia. Bukankah kita kadang munafik pada diri sendiri? Kita cenderung tidak mengakui kelemahan dan kesalahan kita...
Mendengar pengakuannya yang ”sangat-sangat jujur”, saya sama sekali tak terkejut. Jujur menyampaikan ketidakjujuran diri sendiri adalah hal yang sangat langka. Saya berani acungkan dua jempol untuk kejujurannya. Ceritanya mengalir tanpa hambatan apapun, bahkan hal-hal yang menurut mainstream umum tidak layak dibicarakan. Tapi, apa hak saya melarangnya berbicara, mengeluarkan gumpalan kekecewaan yang memmbuncah di hatinya?
”Saya sedang sumpek, kak. Saya nggak mau ketemu selingkuhanku, karena saya juga selingkuh..!!” Katanya manja. Saya masih juga diam. Otakku mulai bekerja; ada apa sebenarnya dalam logika perempuan? Ahai...gerangan apakah yang sedang terjadi? Disinilah menurut saya letak keunikan kondisi psikologis Hany, seorang perempuan yang sadar tapi tidak menyadari, paham tapi tidak memahami, begitu kata temanku. Bukankah manusia memang makhluk yang penuh paradoks? Tak ada poin apapun ketika kita berusaha mengingatkan orang yang tidak lupa, berusaha menyadarkan orang yang tidak gila ...
Maka, saya teringat apa yang pernah dikatakan Sigmund Frued, tokoh psikoanalisis itu, bahwa manusia secara naluriah memang memiliki alter ego. Bukankha kita sering memiliki seribu wajah? Dan, bagi saya Hany sedang menampakkan wajah yang lain. Raut yang ceria meski jiwanya terluka, wajah yang dipaksa untuk tetap tersenyum dalam jerat nista. Siapa yang sanggup menelan luka saat jiwa kian renta?
Disinilah letak ketegaran seorang Hany, teman baru saya itu. Tegar dalam keterpurukan yang menghunjam. Saya sama sekali tak menganggap bahwa ia adalah perempuan amoral, bejat, asusila dan stigma-stigma buruk lainnya. Bagi saya, Hany adalah diri Hany seutuhnya. Dan saya berharap, semoga ia tidak tersinggung tatkala membaca tulisan tak berarti ini. Tak ada maksud apapun, kecuali bahwa kita perlu belajar pada segala sesuatu yang telah terjadi, belajar pada orang lain dan diri sendiri. Bukankah dialektika antara baik-buruk, kaya-msikin, hitam-putih adalah keniscayaan hidup? Dan disinilah konseptualisasi amar-ma’ruf dan nahi-mungkar menemukan titik implikasi logisnya dalam menata perjalanan hidup ini. Dan disini pulalah, ajaran kerendahan hati menemukan kesejatiannya; bahwa tak ada sesuatu apapun yang benar-benar sempurna, kecuali Tuhan.
Maka, sejatinya kita tak perlu malu karena pernah menyandang gelar-gelar buruk. Kita tak perlu berkecil hati, apalagi meratapi diri. Kita tak perlu malu pada manusia, karena bukan mereka yang memberi kita makan, yang memberikan kita hidup. Tapi malulah pada diri sendiri, malu pada Tuhan tatkala kita tak pernah berusaha memperbaiki diri dan menjadi lebih baik....
oleh : bahauddin
0 comments:
Post a Comment