Sebuah Tawaran Ideal dalam Kontestasi Politik Kita
Prolog : Mengenal labirin dan Aporia Politik Kita
Bukan hal yang baru, jika negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini selalu menjadi pelanggan setia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Transparancy International Indonesia (TII) merilis hasil penelitiannya yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-5 negara terkorup di dunia. Rilis semacam itu pada dasarnya tidak mengandung hal-hal baru ; siapapun dan apapun lembaganya niscaya akan menghasilkan peringkat atau indeks korupsi yang kurang lebih sama.
Melihat kenyataan ini tampaknya tidak berlebihan jika kita menganggap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini hanya merupakan mitos ketimbang realitas. Dengan perangkat hukum dan lembaga anti korupsi yang kian bertambah banyak, seaharusnya upaya pemberantasan korupsi semaki menemukan titik terang. Tetapi kenyataannya wabah korupsi makin menggila dan kian ganas.
Berbagai kasus megakorupsi di lingkaran kekuasaan yang terungkap akhir-akhir ini, kian menegsakan moralitas bangsa yang rapuh, bobrok, korup dan sejenisnya. Orang akan mudah berargumentasi, kebobrokan moral bangsa ternyata ditentukan oleh moralitas para politisinya. Ternyata, para elit politik kita, dari dulu hingga kini, tak lebih sebagai pendosa yang mempelopori kebobrokan moral bagi masyarakat secara lebih luas dan sistemik. Para elit politik yang konon merupakan ”putera-puteri terbaik bangsa”, dengan kualifikasi pendidikan yang membanggakan, kata Komaruddin Hidayat dalam sebuah talk show di salah satu stasiun televisi swasta (15/3/2002), ternyata tidak tahan uji saat mereka memasuki lingkaran kekuasaan.
Seringkali kita dibuat geli menyaksikan perilaku para petualang politik di negeri ini yang sungguh tidak cerdas.dan cenderung amoral. Selalu saja ada argumen yang mereka gunakan untuk memperoleh pembenaran terhadap “manuver” yang mereka lakukan. Yang paling gampang, jelas mencari kambing hitam. Yang paling sering kena sasaran jelas para rival politiknya. Dalam pilkada, misalnya, politisi yang kalah bersaing tak jarang melakukan aksi-aksi vandalistis dengan mengerahkan “tim sukses”-nya atau memburu pendemo bayaran. Mereka direkrut, tentu saja dengan sejumlah upah, untuk menciptakan stigma baru kepada publik.
Perilaku elite politik yang menyangsikan kejujuran dalam sebuah pesta demokrasi tanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bahkan bertingkah “inkonstitusional”, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan. Tampaknya, menerima kekalahan menjadi sebuah idiom yang amal mahal harganya. Ada saja “manuver” yang mereka lontarkan untuk membentuk opini publik bahwa mereka telah dicurangi, dipinggirkan, atau dijegal.
Pada satu sisi, kondisi semacam itu memang bisa menjadi sinyal dinamika politik yang bertahun-tahun lamanya terpasung dalam belenggu rezim Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain, hal itu bisa memberikan citra demokrasi yang tidak sehat bagi rakyat, bahkan akan menjadi bumerang bagi elite politik itu sendiri dalam membangun dan mengibarkan bendera politiknya pada masa-masa mendatang. Rakyat jadi kehilangan simpati dan kepercayaan.
Politisi dan Lingkaran Kekuasaan : Sebuah Paradoks Keberagamaan
Sedikit uraian tentang fenomena pembusukan moral elit kita di atas, sejatinya adalah sebuah deskrepsi empirik yang menelanjangi tubuh bangsa dengan paradoks keberagamaan. Agak sulit memang untuk dipahami dan dicerna dari perspektif manapun, mengingat lingkaran kekuasaan dihuni cukup banyak ”pendosa politik” yang justru dikenal agamis. Tentu muncul pertanyaan, bagaimana bisa menarik benang merah atau korelasi positif antara tingkat kesalehan seseorang dengan tingkat perbuatan dosa yang dilakukan?
Maka, paradoksalitas keberagamaan ini setidaknya telah menyuguhkan indikasi bahwa telah terjadi manipulasi simbol-simbol keagamaan untuk mengelabui masyarakat bahwa elit politik kita religius. Mereka menjadikan ritus-ritus keagamaan hanya sebatas sin laundering yang dianggap akan mencuci dosa-dosa politik yang dilakukan. Impas, antara bobot ibadah dan kejahatan yang dilakukan disertai keyakinan, Tuhan maha Pengasih dan Penyayang tehadap hamba-Nya yang mau bertobat. Selama masih ada kesempatan, menjarah uang negara dan merampok uang rakyat bukan hal tabu dilakukan.
Staemen dan pola sikap yang menyatakan bahwa politik memang kotor, tampaknya menemukan titik justifikasinya dalam konteks ini. Bukan politik namanya kalau masih berbaur dengan ”kebersihan”, kejujuran dan sikap arif lainnya. Dinamika politik mestilah kotor dan karenanya, dengan penuh kesadaran, para politikus kita terlanjur dianggap sah-sah saja melakukan segala hal yang mampu mengantarkannya pada capaian keinginan dan ”cita-citanya”.
Merebaknya korupsi hingga membuat bangsa dan negeri ini bangkrut, konon memang bersumber dari pesona uang dan lingkartan kekuasaan. Mungkin ada benarnya kalau Sejarawan Inggris, Lord Acton, menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya cenderung korup, dan kekuasaan absolut hampir pasti korup secara absolut pula. Ya, ya, ya! Orang yang sedang berkuasa, memang bisa berbuat apa saja. Hukum yang lurus bisa dibengkok-bengkokkan, orang yang benar bisa disalah-salahkan atau sebaliknya, sejarah pun bisa diputarbalikkan sesuai dengan selera penguasa.
“Kisah Naga Baru”, sebagaimana diceritakan dalam Wikipedia, menunjukkan betapa kekuasaan bisa membuat seseorang menjadi “mabuk” dan lupa akan kesejatian dirinya. Alkisah pada suatu hari seorang pendekar perguruan silat yang sangat sakti dibujuk oleh murid muridnya untuk masuk ke dalam sebuah goa dan mengalahkan seekor naga yang menghuni goa tersebut. Sudah ratusan pendekar yang masuk dan berusaha membunuh naga tersebut, tetapi mereka tak pernah keluar dari goa dengan selamat.
Karena merasa tertantang, sang pendekar guru segera masuk ke dalam goa. Ternyata sang naga sama sekali tidak sakti. Dengan sekali tebasan pedang saja sang naga langsung tersungkur mati. Sang pendekar segera melihat sekeliling goa. Ternyata penuh dengan bongkahan emas permata yang kemilau sangat memesona. Sang pendekar guru tergiur untuk mengambil beberapa genggam permata sebagai oleh-oleh kepada murid-muridnya sekaligus sebagai bukti bahwa dia telah berhasil mengalahkan sang naga.
Namun, apa lacur? Begitu meraup harta permata, seketika sang pendekar guru menjelma menjadi seekor naga. Karena merasa malu, sang pendekar guru memilih tetap tinggal di dalam goa dan menjadi Naga Baru. Murid-murid di luar goa merasa cemas dan menyangka gurunya telah tewas diterkam sang naga, padahal sang guru telah menjelma menjadi naga yang baru.
Meski hanya sebuah fiksi, kisah ini menunjukkan sebuah ilustrasi betapa dekatnya kekuasaan itu dengan hal-hal yang berbau busuk dan korup. Orang-orang idealis bisa hancur martabatnya setelah masuk dalam lingkaran kekuasaan. “Wong milik nggendhong lali”, kata orang Jawa. Betapa menggiurkannya kekuasaan itu sehingga tak sedikit orang yang rela mengeluarkan banyak duwit untuk “membeli”-nya.
Menggagas Politik Kerakyatan : Menyelami Gagasan Machiavelli
Selama ini muncul asumsi yang mengatakan bahwa Machiavelli, yang diakui sebagai pelopor ilmu politik moderen adalah amoral, karena dicurigai menganut paham politik ‘menghalalkan segala cara’; lebih lanjutnya istilah Machiavellianisme dikonotasikan sebagai segala pikiran, sikap, dan tindakan kotor lagi kejam dalam ranah politik.
Salah kaprah kepada Machiavelli dan pemikirannya tersebut, adalah disebabkan kekeliruan dalam memahami Machiavelli, dan terutama lagi mengenai salah satu karyanya, yaitu Il Principe (Politik Kekuasaan). Dalam karya dimaksud, memang Machiavelli mengungkapkan kenyataan politik yang ada pada waktu itu; Machiavelli mengungkapkan segala ‘apa yang nyata-nyata’ pada zamannya tersebut, dan bukan mengungkapkan ‘apa yang ideal’ atau kenyataan politik yang ideal menurut dia, yang harus dilakukan oleh para penguasa.
‘Apa yang nyata-nyata’ yang diungkapkan oleh Machiavelli dalam buku dimaksud, memang sering kejam dan amoral. Akan tetapi ‘Apa yang nyata-nyata’ tersebut, merupakan kenyataan politik yang nyata terjadi di zaman Machiavelli, yang diungkapkan olehnya, dan bukan merupakan pemikiran politik Machiavelli. Oleh sebab itu, merupakan kesimpulan yang terburu-buru dan latah dengan menyimpulkan Machiavelli sebagai politikus kotor, dan Machiavellianisme sebagai aliraan ‘penghalal segala cara’.
Dalam beberapa karya-karyanya yang lain, dan yang terutama adalah Discorsi Di Niccolo Machiavelli, dengan cukup jelas dan nyata akan Machiavelli yang bukan sebagai poitikus amoral apalagi ‘penghalal segala cara’. Dalam karya Machiavelli yang lebih besar ini, yang berjudul lengkap Discorsi Di Niccolo Machiavelli, Cittadino, et Segretariso Fiorentino, Sopra La Prima Deca Di Tito Livio, a Zanobi Boundel Monti, et a Cosimo Rucellai —yang lebih terkenal dengan DISCORSI, dan lebih tepat diterjemahkan sebagai Politik Kerakyatan— cukup menunjukkan akan sosok Machiavelli sebagai politikus kerakyatan, dan sumbangsihnya yang besar terhadap Politik Kerakyatan.
Dalam Discorsi, Machiavelli mengungkapkan: “Kita tahu yang baik itu apa, tetapi kita sering tidak mampu melakukannya. Salah satu yang baik dan dapat dilakukan adalah system pemerintahan Republik!.” Dalam melakukan urainnya tentang Politik Kerakyatan dan Republik, Machiavelli kerap menuturkan berbagai hal, yang pada intinya adalah menekankan betapa pentingnya menjunjung tinggi azaz kerakyatan, terutama dalam system pemerintahan.
Pertama: Virtu atau Res Publica. Virtu atau Res Publica adalah semangat kerakyatan yang mutlak harus dijunjung tinggi oleh para penguasa.
Diceritakan bahwa Alexander Agung pernah dibujuk oleh arsiteknya, Deinocrates untuk mendirikan kerajaan diatas Gunung Athos, sebuah gunung gersang tapi mempesona; letaknya strategis dan gampang untuk dipertahankan. Kemudian Alexander menyela: “Lantas di mana rakyat hidup?” Deinocrates menjawab malu-malau bahwa ia tak sempat terfikir akan hal itu. Alexander pun akhirnya mendirikan kerajaannya di tepian Sungai Nil.
Kedua: Hukum untuk Res Publica. Res Publica mutlak membutuhkan hukum, guna penegakan disiplin sosial. Adapun mekanisme pembuatan hukum, kota Roma dapat dijadikan contoh: hukum Kota Roma berkembang lambat laun, sesuai dengan keinginan dan prakarsa warga dan masalah yang mereka hadapi bersama.
Ketiga: pola pemerintahan Res Publica yang paling ideal menurut Machiavelli adalah, ramuan dari keenam pola pemerintahan yang hari ini ada di dunia: Kerajaan, Aristokrasi, Demokrasi, Tirani, Oligarki, dan Anarki. Oleh karena masing-masing pola mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Keempat: Supremasi Hukum. Res Publica haruslah terdapat kepastian hukum; rule of law merupakan hal yang sangat penting. Hal iniberarti, jasa seseorang tidak boleh dijadikan alasan untuk membiarkan kejahatannya, untuk tidak mengadilinya, tidak menghukumnya, atau bahkan meringankan hukumannya.
Politik kerakyatan ala Machiavelli, pada prinsipnya adalah mempersyaratkan keempat hal diatas. Penafian akan salah satu saja daripada unsur syarat diatas, akan mencederai politik kerakyatan itu sendiri. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini, tentunya kita tidak jarang menyaksikan kenyataan sosial dan politik yang paradoksal dengan azas-azas politik kerakyatan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Niccolo Machiavelli dimaksud.
Sementara pada sisi lainnya, kiranya bukanlah hal yang berlebihan: untuk mengatakan dan mengakui Niccolo di Bernardo Machiavelli sebagai politikus kerakyatan; bukan (lagi) sebagai politikus amoral, dan ’penghalal segala cara’, sebagaimana yang selama ini telah diciterakan kepada Machiavelli dan para pengikutnya (baca: Machiavellianisme), yang ternyata keliru tersebut.
Epilog : Dari Politik Kerakyatan Menuju Indonesia baru
Pada bagian epilog ini, ada beberapa poin yang perlu kita refleksikan bersama, tentang kontestasi politik negara kita ditengah labirin dan aporia yang kian membingungkan. Ironis memang. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk membangun Indonesia Baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih, berwibawa, reformatif, dan legitimated, justru tidak sedikit politisi yang berkarakter oportunis, arogan, dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan secara diametral terhadap prinsp-prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan.
Terlepas dari hiruk-pikuk politik yang akan terus berlangsung, di luar itu semua, agenda penting dan urgen dan sangat krusial untuk segera digarap ialah membangun budaya politik yang berbasis kerakyatan, memperjuangkan hak-haknya, menciptakan dinamika demokrasi yang sehat, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi dan andal terhadap sikap fair, jujur, ksatria, elegan, dan lapang dada terhadap apa pun hasil yang telah disepakati bersama lewat proses demokrasi. Jangan sampai terjadi, “trik-trik” politik yang tidak sehat semacam itu menjadi “patron” dan referensi bagi generasi berikutnya dalam membangun demokrasi. Harus ada upaya serius dan intens untuk menyosialisasikan cara-cara demokrasi yang ideal secara simultan dan berkelanjutan.
Prolog : Mengenal labirin dan Aporia Politik Kita
Bukan hal yang baru, jika negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini selalu menjadi pelanggan setia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Transparancy International Indonesia (TII) merilis hasil penelitiannya yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-5 negara terkorup di dunia. Rilis semacam itu pada dasarnya tidak mengandung hal-hal baru ; siapapun dan apapun lembaganya niscaya akan menghasilkan peringkat atau indeks korupsi yang kurang lebih sama.
Melihat kenyataan ini tampaknya tidak berlebihan jika kita menganggap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini hanya merupakan mitos ketimbang realitas. Dengan perangkat hukum dan lembaga anti korupsi yang kian bertambah banyak, seaharusnya upaya pemberantasan korupsi semaki menemukan titik terang. Tetapi kenyataannya wabah korupsi makin menggila dan kian ganas.
Berbagai kasus megakorupsi di lingkaran kekuasaan yang terungkap akhir-akhir ini, kian menegsakan moralitas bangsa yang rapuh, bobrok, korup dan sejenisnya. Orang akan mudah berargumentasi, kebobrokan moral bangsa ternyata ditentukan oleh moralitas para politisinya. Ternyata, para elit politik kita, dari dulu hingga kini, tak lebih sebagai pendosa yang mempelopori kebobrokan moral bagi masyarakat secara lebih luas dan sistemik. Para elit politik yang konon merupakan ”putera-puteri terbaik bangsa”, dengan kualifikasi pendidikan yang membanggakan, kata Komaruddin Hidayat dalam sebuah talk show di salah satu stasiun televisi swasta (15/3/2002), ternyata tidak tahan uji saat mereka memasuki lingkaran kekuasaan.
Seringkali kita dibuat geli menyaksikan perilaku para petualang politik di negeri ini yang sungguh tidak cerdas.dan cenderung amoral. Selalu saja ada argumen yang mereka gunakan untuk memperoleh pembenaran terhadap “manuver” yang mereka lakukan. Yang paling gampang, jelas mencari kambing hitam. Yang paling sering kena sasaran jelas para rival politiknya. Dalam pilkada, misalnya, politisi yang kalah bersaing tak jarang melakukan aksi-aksi vandalistis dengan mengerahkan “tim sukses”-nya atau memburu pendemo bayaran. Mereka direkrut, tentu saja dengan sejumlah upah, untuk menciptakan stigma baru kepada publik.
Perilaku elite politik yang menyangsikan kejujuran dalam sebuah pesta demokrasi tanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bahkan bertingkah “inkonstitusional”, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan. Tampaknya, menerima kekalahan menjadi sebuah idiom yang amal mahal harganya. Ada saja “manuver” yang mereka lontarkan untuk membentuk opini publik bahwa mereka telah dicurangi, dipinggirkan, atau dijegal.
Pada satu sisi, kondisi semacam itu memang bisa menjadi sinyal dinamika politik yang bertahun-tahun lamanya terpasung dalam belenggu rezim Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain, hal itu bisa memberikan citra demokrasi yang tidak sehat bagi rakyat, bahkan akan menjadi bumerang bagi elite politik itu sendiri dalam membangun dan mengibarkan bendera politiknya pada masa-masa mendatang. Rakyat jadi kehilangan simpati dan kepercayaan.
Politisi dan Lingkaran Kekuasaan : Sebuah Paradoks Keberagamaan
Sedikit uraian tentang fenomena pembusukan moral elit kita di atas, sejatinya adalah sebuah deskrepsi empirik yang menelanjangi tubuh bangsa dengan paradoks keberagamaan. Agak sulit memang untuk dipahami dan dicerna dari perspektif manapun, mengingat lingkaran kekuasaan dihuni cukup banyak ”pendosa politik” yang justru dikenal agamis. Tentu muncul pertanyaan, bagaimana bisa menarik benang merah atau korelasi positif antara tingkat kesalehan seseorang dengan tingkat perbuatan dosa yang dilakukan?
Maka, paradoksalitas keberagamaan ini setidaknya telah menyuguhkan indikasi bahwa telah terjadi manipulasi simbol-simbol keagamaan untuk mengelabui masyarakat bahwa elit politik kita religius. Mereka menjadikan ritus-ritus keagamaan hanya sebatas sin laundering yang dianggap akan mencuci dosa-dosa politik yang dilakukan. Impas, antara bobot ibadah dan kejahatan yang dilakukan disertai keyakinan, Tuhan maha Pengasih dan Penyayang tehadap hamba-Nya yang mau bertobat. Selama masih ada kesempatan, menjarah uang negara dan merampok uang rakyat bukan hal tabu dilakukan.
Staemen dan pola sikap yang menyatakan bahwa politik memang kotor, tampaknya menemukan titik justifikasinya dalam konteks ini. Bukan politik namanya kalau masih berbaur dengan ”kebersihan”, kejujuran dan sikap arif lainnya. Dinamika politik mestilah kotor dan karenanya, dengan penuh kesadaran, para politikus kita terlanjur dianggap sah-sah saja melakukan segala hal yang mampu mengantarkannya pada capaian keinginan dan ”cita-citanya”.
Merebaknya korupsi hingga membuat bangsa dan negeri ini bangkrut, konon memang bersumber dari pesona uang dan lingkartan kekuasaan. Mungkin ada benarnya kalau Sejarawan Inggris, Lord Acton, menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya cenderung korup, dan kekuasaan absolut hampir pasti korup secara absolut pula. Ya, ya, ya! Orang yang sedang berkuasa, memang bisa berbuat apa saja. Hukum yang lurus bisa dibengkok-bengkokkan, orang yang benar bisa disalah-salahkan atau sebaliknya, sejarah pun bisa diputarbalikkan sesuai dengan selera penguasa.
“Kisah Naga Baru”, sebagaimana diceritakan dalam Wikipedia, menunjukkan betapa kekuasaan bisa membuat seseorang menjadi “mabuk” dan lupa akan kesejatian dirinya. Alkisah pada suatu hari seorang pendekar perguruan silat yang sangat sakti dibujuk oleh murid muridnya untuk masuk ke dalam sebuah goa dan mengalahkan seekor naga yang menghuni goa tersebut. Sudah ratusan pendekar yang masuk dan berusaha membunuh naga tersebut, tetapi mereka tak pernah keluar dari goa dengan selamat.
Karena merasa tertantang, sang pendekar guru segera masuk ke dalam goa. Ternyata sang naga sama sekali tidak sakti. Dengan sekali tebasan pedang saja sang naga langsung tersungkur mati. Sang pendekar segera melihat sekeliling goa. Ternyata penuh dengan bongkahan emas permata yang kemilau sangat memesona. Sang pendekar guru tergiur untuk mengambil beberapa genggam permata sebagai oleh-oleh kepada murid-muridnya sekaligus sebagai bukti bahwa dia telah berhasil mengalahkan sang naga.
Namun, apa lacur? Begitu meraup harta permata, seketika sang pendekar guru menjelma menjadi seekor naga. Karena merasa malu, sang pendekar guru memilih tetap tinggal di dalam goa dan menjadi Naga Baru. Murid-murid di luar goa merasa cemas dan menyangka gurunya telah tewas diterkam sang naga, padahal sang guru telah menjelma menjadi naga yang baru.
Meski hanya sebuah fiksi, kisah ini menunjukkan sebuah ilustrasi betapa dekatnya kekuasaan itu dengan hal-hal yang berbau busuk dan korup. Orang-orang idealis bisa hancur martabatnya setelah masuk dalam lingkaran kekuasaan. “Wong milik nggendhong lali”, kata orang Jawa. Betapa menggiurkannya kekuasaan itu sehingga tak sedikit orang yang rela mengeluarkan banyak duwit untuk “membeli”-nya.
Menggagas Politik Kerakyatan : Menyelami Gagasan Machiavelli
Selama ini muncul asumsi yang mengatakan bahwa Machiavelli, yang diakui sebagai pelopor ilmu politik moderen adalah amoral, karena dicurigai menganut paham politik ‘menghalalkan segala cara’; lebih lanjutnya istilah Machiavellianisme dikonotasikan sebagai segala pikiran, sikap, dan tindakan kotor lagi kejam dalam ranah politik.
Salah kaprah kepada Machiavelli dan pemikirannya tersebut, adalah disebabkan kekeliruan dalam memahami Machiavelli, dan terutama lagi mengenai salah satu karyanya, yaitu Il Principe (Politik Kekuasaan). Dalam karya dimaksud, memang Machiavelli mengungkapkan kenyataan politik yang ada pada waktu itu; Machiavelli mengungkapkan segala ‘apa yang nyata-nyata’ pada zamannya tersebut, dan bukan mengungkapkan ‘apa yang ideal’ atau kenyataan politik yang ideal menurut dia, yang harus dilakukan oleh para penguasa.
‘Apa yang nyata-nyata’ yang diungkapkan oleh Machiavelli dalam buku dimaksud, memang sering kejam dan amoral. Akan tetapi ‘Apa yang nyata-nyata’ tersebut, merupakan kenyataan politik yang nyata terjadi di zaman Machiavelli, yang diungkapkan olehnya, dan bukan merupakan pemikiran politik Machiavelli. Oleh sebab itu, merupakan kesimpulan yang terburu-buru dan latah dengan menyimpulkan Machiavelli sebagai politikus kotor, dan Machiavellianisme sebagai aliraan ‘penghalal segala cara’.
Dalam beberapa karya-karyanya yang lain, dan yang terutama adalah Discorsi Di Niccolo Machiavelli, dengan cukup jelas dan nyata akan Machiavelli yang bukan sebagai poitikus amoral apalagi ‘penghalal segala cara’. Dalam karya Machiavelli yang lebih besar ini, yang berjudul lengkap Discorsi Di Niccolo Machiavelli, Cittadino, et Segretariso Fiorentino, Sopra La Prima Deca Di Tito Livio, a Zanobi Boundel Monti, et a Cosimo Rucellai —yang lebih terkenal dengan DISCORSI, dan lebih tepat diterjemahkan sebagai Politik Kerakyatan— cukup menunjukkan akan sosok Machiavelli sebagai politikus kerakyatan, dan sumbangsihnya yang besar terhadap Politik Kerakyatan.
Dalam Discorsi, Machiavelli mengungkapkan: “Kita tahu yang baik itu apa, tetapi kita sering tidak mampu melakukannya. Salah satu yang baik dan dapat dilakukan adalah system pemerintahan Republik!.” Dalam melakukan urainnya tentang Politik Kerakyatan dan Republik, Machiavelli kerap menuturkan berbagai hal, yang pada intinya adalah menekankan betapa pentingnya menjunjung tinggi azaz kerakyatan, terutama dalam system pemerintahan.
Pertama: Virtu atau Res Publica. Virtu atau Res Publica adalah semangat kerakyatan yang mutlak harus dijunjung tinggi oleh para penguasa.
Diceritakan bahwa Alexander Agung pernah dibujuk oleh arsiteknya, Deinocrates untuk mendirikan kerajaan diatas Gunung Athos, sebuah gunung gersang tapi mempesona; letaknya strategis dan gampang untuk dipertahankan. Kemudian Alexander menyela: “Lantas di mana rakyat hidup?” Deinocrates menjawab malu-malau bahwa ia tak sempat terfikir akan hal itu. Alexander pun akhirnya mendirikan kerajaannya di tepian Sungai Nil.
Kedua: Hukum untuk Res Publica. Res Publica mutlak membutuhkan hukum, guna penegakan disiplin sosial. Adapun mekanisme pembuatan hukum, kota Roma dapat dijadikan contoh: hukum Kota Roma berkembang lambat laun, sesuai dengan keinginan dan prakarsa warga dan masalah yang mereka hadapi bersama.
Ketiga: pola pemerintahan Res Publica yang paling ideal menurut Machiavelli adalah, ramuan dari keenam pola pemerintahan yang hari ini ada di dunia: Kerajaan, Aristokrasi, Demokrasi, Tirani, Oligarki, dan Anarki. Oleh karena masing-masing pola mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Keempat: Supremasi Hukum. Res Publica haruslah terdapat kepastian hukum; rule of law merupakan hal yang sangat penting. Hal iniberarti, jasa seseorang tidak boleh dijadikan alasan untuk membiarkan kejahatannya, untuk tidak mengadilinya, tidak menghukumnya, atau bahkan meringankan hukumannya.
Politik kerakyatan ala Machiavelli, pada prinsipnya adalah mempersyaratkan keempat hal diatas. Penafian akan salah satu saja daripada unsur syarat diatas, akan mencederai politik kerakyatan itu sendiri. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini, tentunya kita tidak jarang menyaksikan kenyataan sosial dan politik yang paradoksal dengan azas-azas politik kerakyatan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Niccolo Machiavelli dimaksud.
Sementara pada sisi lainnya, kiranya bukanlah hal yang berlebihan: untuk mengatakan dan mengakui Niccolo di Bernardo Machiavelli sebagai politikus kerakyatan; bukan (lagi) sebagai politikus amoral, dan ’penghalal segala cara’, sebagaimana yang selama ini telah diciterakan kepada Machiavelli dan para pengikutnya (baca: Machiavellianisme), yang ternyata keliru tersebut.
Epilog : Dari Politik Kerakyatan Menuju Indonesia baru
Pada bagian epilog ini, ada beberapa poin yang perlu kita refleksikan bersama, tentang kontestasi politik negara kita ditengah labirin dan aporia yang kian membingungkan. Ironis memang. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk membangun Indonesia Baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih, berwibawa, reformatif, dan legitimated, justru tidak sedikit politisi yang berkarakter oportunis, arogan, dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan secara diametral terhadap prinsp-prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan.
Terlepas dari hiruk-pikuk politik yang akan terus berlangsung, di luar itu semua, agenda penting dan urgen dan sangat krusial untuk segera digarap ialah membangun budaya politik yang berbasis kerakyatan, memperjuangkan hak-haknya, menciptakan dinamika demokrasi yang sehat, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi dan andal terhadap sikap fair, jujur, ksatria, elegan, dan lapang dada terhadap apa pun hasil yang telah disepakati bersama lewat proses demokrasi. Jangan sampai terjadi, “trik-trik” politik yang tidak sehat semacam itu menjadi “patron” dan referensi bagi generasi berikutnya dalam membangun demokrasi. Harus ada upaya serius dan intens untuk menyosialisasikan cara-cara demokrasi yang ideal secara simultan dan berkelanjutan.
sumber : bahauddin