Awal mulanya, Nabi Hud (Gud, Gudea) bersama pengikutnya meninggalkan bangsa 'Aad (Akad, Akadia), untuk selanjutnya eksodus ke sebelah tenggara 'Aad. Insiden ini dilatarbelakangi oleh tindakan sewenang-wenang dari rezim Naramsin yang didukung oleh kekuatan militernya. Tidak lama kemudian bangsa 'Aad hancur tertimpa bencana berupa angin topan yang sangat dahsyat selama sepekan lebih, sebagaimana diceritakan dalam lembaran-lembaran wahyu.
Adapun bangsa 'Aad, maka mereka telah dihancurleburkan dengan angin yang sangat dingin Sangat kencang Dihadiahkan kepada mereka selama Tujuh malam delapan hari terus-menerus Maka Engkau lihat, bangsa 'Aad mati bergelimpangan, Saat itu, seperti pohon kurma yang tumbang. (QS Al Haaqqah: 6-7)
Di tempat yang baru, Nabi Hud beserta pengikutnya menyusun peradaban kembali. Tempat itulah yang disebut Alhijr. Alhijr, secara harfiah berarti migrasi (hijrah), dan agaknya bukan nama kota yang dihuni Nabi Hud sekaligus Nabi Shulih. Sebab kiranya mustahil andaikata mereka memberi nama suatu kota dengan kosakata Arab, padahal bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa 'Aad. Sementara bahasa Arab adalah bahasa yang baru muncul ribuan tahun kemudian seiring dengan perkembangan komunitas manusia yang dimulai dari kawasan itu. Sementara istilah ''Alhijr'' dalam Alquran disesuaikan kurun ruang-waktu di mana Nabi Muhammad, Nabi yang pamungkas hidup. Bahkan, lebih jauh, para mufasirin menginterpretasikan ''Alhijr'' sebagai daerah di antara Yasrib dan Syiria. Perihal ini agaknya kurang memuaskan, karena daerah tersebut belum ditemukan tanda-tanda adanya bekas peradaban tempo dulu.
Berdasarkan lempengan-lempengan tanah liat bertulis milik bangsa 'Aad yang ditemukan dalam panggalian, kota pertama yang dibangun Nabi Hud di tempat yang baru adalah Lagash. Kemudian diikuti berdirinya kota-kota baru di sekitarnya. Sepeninggal Nabi Hud, keadaan daerah itu menjadi kacau balau sampai berlarut-larut ke beberapa generasi berikutnya. Pada akhirnya muncul seseorang yang dianugerahi wahyu kenabian, ya dialah Shulih.
Junta Militer Urnamu
Setelah Nabi Hud wafat, tongkat kepemimpinan diwariskan kepada seseorang yang tidak secerdas Nabi Hud. Pemimpin baru itu dikisahkan diculik oleh Utuhegal, seorang politheis yang haus kekuasaan. Semenjak itu, keadaan menjadi berantakan. Prinsip-prinsip kemadanian yang dicetuskan oleh Nabi Hud mulai ditinggalkan tanpa pengetahuan tentang bahaya yang akan menimpa. Utuhegal berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan cara membentuk badan kemiliteran. Langkah ini menjadi bumerang bagi dirinya, sebab salah satu jenderal besarnya, Urnamu, mengadakan kudeta besar-besaran untuk menumbangkan Utuhegal.
Setelah Nabi Hud wafat, tongkat kepemimpinan diwariskan kepada seseorang yang tidak secerdas Nabi Hud. Pemimpin baru itu dikisahkan diculik oleh Utuhegal, seorang politheis yang haus kekuasaan. Semenjak itu, keadaan menjadi berantakan. Prinsip-prinsip kemadanian yang dicetuskan oleh Nabi Hud mulai ditinggalkan tanpa pengetahuan tentang bahaya yang akan menimpa. Utuhegal berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan cara membentuk badan kemiliteran. Langkah ini menjadi bumerang bagi dirinya, sebab salah satu jenderal besarnya, Urnamu, mengadakan kudeta besar-besaran untuk menumbangkan Utuhegal.
Dengan tumbangnya rezim Utuhegal, maka bangsa itu diperintah oleh Urnamu. Keunggulannya dalam menjatuhkan Utuhegal, tidak berarti ia membawa perubahan ke arah yang lebih baik, karena ia sama sekali tidak mampu melakukan terobosan baru dengan cara mendobrak paham yang sangat liar yaitu menyembah patung-patung. Pada kurun waktu kekuasaannya, kehidupan komunitas itu mengalami penurunan nilai yang amat drastis. Bahkan bisa dikatakan lebih buruk daripada masa kekuasaan Utuhegal. Faktor utamanya ialah Urnamu sendiri menuhankan patung-patung pahlawannya yang hidup sebelum Nabi Hud. Kalau boleh kita bandingkan, bangsa Indonesia juga mengalami gaya hidup seperti mereka, menjadikan seorang pahlawan proklamatornya sebagai Tuhan meskipun tidak melalui seremonial tertentu, namun secara perilaku dapat dideteksi.
Sesuatu yang cukup punya nilai pada masa kekuasaan Urnamu, bangsa yang hidup di zona --yang dalam Alquran disebut Alhijr-- tersebut tidak memiliki nama. Yang jelas, penyebutan dengan istilah ''Sumeria'' oleh para sejarawan adalah bermuasal dari nama aslinya ''Sumer'' yang memiliki persamaan alphabet dengan [T]samud.
Berdasarkan Alquran surat Al-A'raaf ayat 73-74 yang menyebutkan bahwa bangsa kuno yang hidup sesudah eksistensi bangsa 'Aad adalah bangsa Tsamud. Dan jika dibandingkan dengan fakta historis dari situs arkeologi di Mesopotamia setelah kehancuran bangsa Akad muncullah bangsa Sumer. Maka kemungkinan besar Sumer (atau yang biasa disebut Sumeria) tidak lain adalah Tsamud. Kondisi asli bangsa Sumer ketika puing-puingnya ditemukan dalam penggalian arkeologi mirip dengan gambaran Alquran tentang Tsamud, menjadi pendukung kebenaran Alquran mengenai kisah tentang komunitas zaman dulu.
Pengaruh Urnamu sebagai penguasa bangsa Tsamud sepertinya sangat kuat, hal ini disebabkan monarki absolut yang diterapkannya dengan dukungan militerisme. Sistem pengelolaan negara menjadi feodalisme, otokrasi mayoritas dengan arbriter Urnamu sebagai puncaknya, bisa kita perhatikan pada QS Shaad ayat 12-13.
Arsitektur bangunannya terbilang sangat tinggi menurut ukuran masa itu, dinding-dinding bangunan disusun dari bata bakar dan bata jemur. Bahkan salah satu gedungnya mencapai ketinggian 21 meter di atas pemukiman. Terkadang dinding-dinding tiap bangunan mencapai ketebalan 2 meter. Di samping itu, pola bangunan kadang-kadang mirip piramida atau kerucut dengan pondasi bangunan yang telah dibuat sebagus mungkin, sesuai dengan QS Al-A'raaf ayat 74. Berdasarkan hasil penggalian juga terlihat adanya ketidakadilan, golongan elite tinggal di rumah-rumah mewah di kotaraja. Sementara golongan lemah tinggal di rumah-rumah sumpek yang jauh dari kotaraja. Hal ini jelas menandakan telah terjadi pertentangan antarwarga, bisa kita pelajari pada QS Huud ayat 61-67.
Kehancuran Sumeria
Seperti bangsa pendahulunya --yaitu 'Aad-- bangsa Tsamud (Sumer, Sumeria) juga mengalami kehancuran dan terkubur bersama penduduknya di bawah timbunan pasir gurun tanpa diketahui secara pasti apa faktor penyebabnya. Lagi-lagi para sejarawan dengan tergesa-gesa, kembali menuduh ''gerombolan Gut'' [istilah bernuansa negatif yang diberikan kepada pengikut Nabi Hud oleh para orientalis] telah menyerang dan menghancurkan Sumeria seperti yang dialami bangsa pendahulunya. Padahal, sekali lagi sangat mustahil apabila gerombolan Gut menghancurkan Sumeria dengan pertimbangan yang teramat banyak seperti apa tujuannya menyerang Sumeria? Mungkinkah dengan jumlah anggota kecil, gerombolan Gut mampu menghancurkan Sumeria yang memiliki tentara dan teknologi yang lebih canggih. Sementara para sejarawan tahu pasti bahwa penduduk, kekayaan (emas, perak, lazuardi, dan lainnya) dan bangunan bangsa Sumeria terkubur dalam tumpukan pasir (al-ahqaaf) secara utuh. Sehingga analisis yang kira-kira mendekati kebenaran yaitu bahwa bangsa Sumeria yang tidak lain adalah bangsa Tsamud hancur akibat bencana yang sangat dahsyat karena mereka telah mengeksploitasi alam secara tidak seimbang, dapat kita cermati pada QS Fushshilat ayat 17. Sementara keadaan alam saat itu masih sangat rawan petaka karena sedang melakukan proses penstabilan akibat bencana banjir yang melanda seluruh permukaan bumi (era Nabi Nuh, kira-kira 4000 SM).
Seperti bangsa pendahulunya --yaitu 'Aad-- bangsa Tsamud (Sumer, Sumeria) juga mengalami kehancuran dan terkubur bersama penduduknya di bawah timbunan pasir gurun tanpa diketahui secara pasti apa faktor penyebabnya. Lagi-lagi para sejarawan dengan tergesa-gesa, kembali menuduh ''gerombolan Gut'' [istilah bernuansa negatif yang diberikan kepada pengikut Nabi Hud oleh para orientalis] telah menyerang dan menghancurkan Sumeria seperti yang dialami bangsa pendahulunya. Padahal, sekali lagi sangat mustahil apabila gerombolan Gut menghancurkan Sumeria dengan pertimbangan yang teramat banyak seperti apa tujuannya menyerang Sumeria? Mungkinkah dengan jumlah anggota kecil, gerombolan Gut mampu menghancurkan Sumeria yang memiliki tentara dan teknologi yang lebih canggih. Sementara para sejarawan tahu pasti bahwa penduduk, kekayaan (emas, perak, lazuardi, dan lainnya) dan bangunan bangsa Sumeria terkubur dalam tumpukan pasir (al-ahqaaf) secara utuh. Sehingga analisis yang kira-kira mendekati kebenaran yaitu bahwa bangsa Sumeria yang tidak lain adalah bangsa Tsamud hancur akibat bencana yang sangat dahsyat karena mereka telah mengeksploitasi alam secara tidak seimbang, dapat kita cermati pada QS Fushshilat ayat 17. Sementara keadaan alam saat itu masih sangat rawan petaka karena sedang melakukan proses penstabilan akibat bencana banjir yang melanda seluruh permukaan bumi (era Nabi Nuh, kira-kira 4000 SM).
Sesuai dengan aturan kosmos: sesuatu yang tidak alami, natur, suci, fitrah seperti misalnya kepercayaan yang bersifat delusif atau mitos, pasti akan dilibas habis oleh perputaran alam. Di mana dalam Alquran pun disebutkan --innal bathila kaana zahuuqa-- sesungguhnya yang tidak benar adalah sesuatu yang pasti lenyap, maka ketika bangsa Sumeria terjebak dalam berbagai kenakalan hidup, muncullah Shulih (Shulig, Shulgi).
Baginda Urnamu menemui ajalnya di dalam petaka yang menimpa Sumeria. Sementara ada orang-orang Sumeria yang tidak mengalami petaka itu, karena sudah melakukan evakuasi di bawah koordinator Shulih, yang menurut prasasti sezamannya bernama Shulig atau Shulgi. Merekalah orang-orang penganut monoteisme (Islam) yang amat dimusuhi rezim Urnamu. Shulgi sendiri oleh mereka dikenal sebagai guru karena kecerdasannya, diplomat (rasul), pelindung seni, pendiri masjid dan penyelenggara segala kebaikan bagi negeri dan rakyatnya.
0 comments:
Post a Comment