1. Pengertian Hibah
Hibah berasal dari kata وهب- يهب- وهبا- ووهبا-وهبة yang berarti pemberian tanpa imbalan[1]. Selanjutnya kata hibah dimaksudkan sebagai tindakan atau perbuatan memberikan sesuatu kepada orang baik berupa harta atau selain harta[2].
Hibah mempunyai dua pengertian, secara umum hibah dapat diartikan memindahkan kepemilikan barang kepada orang lain ketika masih hidup. Arti hibah secara khusus adalah pemindahan kepemilikan suatu benda yang bukan suatu kewajiban pada orang lain ketika masih hidup dengan ījāb dan qabūl tanpa mengharapkan pahala atau kerena menghormati dan juga bukan karena menutupi kebutuhan[3].
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hukum yang digunakan oleh orang muslim Indonesia meyebutkan pada Pasal 171 huruf g, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. [4]
Dari beberapa pengertian di atas hibah merupakan pemindahan kepemilikan atas harta dari seseorang kepada orang lain ketika masih hidup tanpa mengharapkan imbalan atau pahala, yang dilakukan dengan ījāb dan qabūl.
Hibah berbeda dengan wasiat ataupun waris. Hibah, wasiat dan waris sama-sama membahas mengenai perpindahan hak milik atas suatu harta pada orang lain, akan tetapi diantara ketiganya memiliki ciri-ciri khusus yang menjadikannya berbeda satu sama lainnya.
Hibah merupakan tindakan pengalihan hak milik atas suatu harta yang dilakukan semasa hidup kepada orang yang dikehendaki oleh si pemberi hibah dan dilakukan seketika itu (tanpa menunggu si pemberi hibah meninggal).
Wasiat adalah pemindahan hak milik atas suatu harta dimana pelaksanaan atas pemindahan hak milik itu dilakukan setelah si pewasiat meninggal dunia (pesan orang yang sudah meninggal).
Pemindahan hak milik harta bisa juga dilakukan dengan cara waris. Waris merupakan salah satu cara pemindahan harta dimana antara si pewaris dan si penerima waris tidak ada perjanjian sebelumnya . Syarat harta yang dipindahkan dengan cara waris adalah si pewaris meninggal dan si penerima waris merupakan keluarga dari pewaris.
Islam sangat menganjurkan untuk saling memberi dan tolong menolong kepada sesama muslim. Hal ini dimaksudkan agar dihati orang-orang muslim akan timbul rasa saling menyayangi dan mengasihi.
Dalam al-qur’an Allah berfirman bahwa seorang muslim tidak akan sampai pada kebajikan yang sempurna sebelum dia memberikan apa yang dia disenangi kepada orang lain
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ
Artinya :”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”(QS. Ali Imran ayat 92)[5].
Dalam hibah ada dua point yang hendak dicapai. Pertama, dengan memberikan harta pada orang lain akan menimbulkan suasana keakraban dan saling menyayangi antara sesama manusia. Mempererat hubungan silaturrahmi antara sesama muslim merupakan salah satu ajaran agama Islam. Point yang kedua yang ingin dicapai dalam hibah adalah terbentuknya suatu kerja sama dalam berbuat baik
2. Rukun Hibah
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidāyatul Mujtahid meyebutkan bahwa rukun hibah ada tiga yaitu
a. Orang yang menghibahkan atau al-wāhib
b. Orang yang menerima hibah atau al-mawhūb lah
Menurut Sayyid Sabiq bahwa selain rukun yang telah disebut di atas, yang terpenting untuk menentukan sahnya perbuatan hibah adalah ṣīghat, dalam hal ini ījāb dan qabūl. Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa yang penting adalah qabūl, sedangkan kalangan Maẓhab Hanafi berpendapat bahwa ījāb saja sudah cukup tanpa diikuti dengan qabūl, dengan kata lain hibah merupakan pernyataan sepihak. Sedangkan ulama’ Hanabilah berpendapat bahwa hibah itu sah dengan pemberian yang menunjukkan keterkaitan dengannya, hal ini berdasarkan tindakan nabi dan para sahabat yang melakukan hibah tanpa mensyaratkan adanya ījāb dan qabūl[7].
3. Syarat Hibah
Hibah mensyaratkan adanya pihak pemberi hibah, pihak penerima hibah dan barang yang dihibahkan.
a) Syarat-syarat Pemberi Hibah (al-wāhib)
Ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan syarat bagi al-wāhib. Menurut Ulama’ Hanfiyah syarat al-wāhib sebagai berikut:
1) Orang merdeka
2) Orang yang mempunyai akal yang sehat (tidak gila)
3) Orang yang telah dewasa dan mampu untuk membelanjakan harta
Ulama’ Mālikiyyah menetapkan syarat al-wāhib adalah ahlan li at-tabarru’ orang yang berhak untuk berderma atau bersedekah[9]. Yang dimaksud ahli tabarru’ adalah
1) Orang merdeka
2) Bukan orang yang banyak hutang
3) Orang yang mempunyai akal yang sehat
4) Islam
5) Bukan seorang isteri, jika harta yang dihibahkan melebihi dari 1/3 harta, kerena seorang isteri ketika menghibahkan harta melebihi 1/3 harta harus mendapat izin dari suami
6) Bukan orang sakit yang sudah mendekati kematian, syarat ini berlaku jika harta yang dihibahkan melebihi1/3. Jika menghibahkan melebihi 1/3 maka harus mendapatkan persetujuan ahli waris
Ulama’ Syafi’iyyah mensyaratkan al-wāhib adalah pemilik yang sebenarnya dari harta yang dihibahkan, orang yang berhak membelanjakan hartanya. Selain tersebut, syarat al-wāhib adalah sama halnya syarat orang yang sah melakukan transaksi jual beli[10]. Ulama’ Hanabilah mensyaratkan al-wāhib adalah orang yang boleh membelanjakan hartanya[11].
Berdasarkan pendapat para ulama’ di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa pada dasarnya syarat al-wāhib adalah:
- Pemilik dari harta yang dihibahkan
- Orang yang tidak dibatasi haknya untuk membelanjakan hartanya
- Orang yang cakap dalam bertindak menurut hukum
b) Syarat-syarat Penerima Hibah (al-mawhūb lah)
Syarat al-mawhūb lah menurut ulama’ Hanafiyah tidak disyaratkan seperti halnya wāhib, menurut mereka harta yang dihibahkan kepada anak kecil hukumnya sah. Menurut ulama Hanabilah syarat al-mawhūb lah adalah orang yang berhak untuk membelanjakan harta. Sedangkan ulama’ Syafi’iyyah mensyaratkan al-mawhūb lah adalah orang yang mempunyai hak untuk memiliki barang[12].
Sayyid Sabiq mengemukan bahwa syarat al-mawhūb lah tidak diharuskan seperti wāhib. Tentang syarat al-mawhūb lah menurut beliau haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Jika al-mawhūb lah saat hibah berlangsung dalam kondisi masih kecil atau gila, maka yang menerima hibah adalah wali dari si al-mawhūb lah [13].
c) Syarat Barang yang Dihibahkan (al-mawhūb)
Al-mawhūb disyaratkan adalah barang yang benar-benar ada dan mempunyai nilai. Penghibaan barang yang belum menjadi milik wāhib menjadi batal. Selain itu, barang yang dihibahkan haruslah barang yang dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya, kepemilikan barang tersebut dapat dialihkan, dapat dipisahkan dan dapat diserahkan kepada penerima hibah (al-mawhūb lah)[14].
[6] Ibnu Rusyd, Bidāyatul Mujtahid Wa Nihāyatul Muqtaṣid, Jilid III, Terj: Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, h. 346
OLEH : Nida Nihayatul Hamdana
1 comments:
salam kenal makasi untuk infonya, ijin repost
Post a Comment