Thursday, November 12, 2009

ANTROPOLOGI

1.Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

  Fase Kedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannyaPada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

  Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.

  Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)

Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
(Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta: 1986)
(Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, UI Press, Jakarta: 1990.)

2.         Antropologi agama adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan. Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah “fenomena” atau sebuah kerangka “desconstruction theory“, mereka bersepakat tentang bangkitnya―dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran―budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai
Studi antropologis mengenai agama dengan demikian merupakan suatu operasi dua tahap. Pertama, suatu analisis atas sistem makna-makna yang terkandung di dalam simbol-simbol yang meliputi agama tertentu, dan kedua, mengaitkan sistem-sistem ini pada struktur sosial dan proses-proses psikologis.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
(Hilman Hadikusuma, Antropologi agama, Jilid 1, Citra Aditya Bakti, 1993)

3. Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting. Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien“, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur’an menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur’an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan. Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan (baca agama) dalam realitas empiris.

read more “ANTROPOLOGI”

FILSAFAT


Bagi Plato “ Realitas itu memiliki dua kenyataan: ada yang berubah dan ada yang tetap. Yang berubah tertangkap oleh inderawi, sedang yang tetap tertangkap oleh pikiran. Logos, menjadi sebab perubahan terus menerus, serta mengatur segala perubahan”. Pada pemikiran Plato untuk meraih yang bersifat umum (universal) yang dapat dipikirkan oleh ide. Karena itu Plato menganggap bahwa pengetahuan yang diberikan oleh indera adalah doxa (pengetahuan yang menyesatkan), walaupun Plato juga menganggap data indera itu penting sebagai jalan menuju pengetahuan yang benar. Apa yang diserap oleh indera bagi Plato hanya berguna sejauh ia menghasilkan forma (bentuk) yang bisa mengingatkan kita pada pola di dunia idea. Jadi, dunia benda-benda yang dapat kita inderai tidak diperhatikan oleh Plato.
Aristoteles, salah seorang murid Plato, membelokkan kecenderungan ini. Bagi dia, yang nyata itu bukan yang bersifat umum (universal), namun yang bersifat khusus (partikular). Hidup bagaimanapun juga berada dan bercampur dengan yang khusus dan kita tak pernah menemukan yang umum (ayam ide, mawar ide, dan seterusnya).
Jadi yang ada adalah konkret yang biasa dapat kita amati dengan indera. Di luar benda-benda konkret, atau selain benda-benda konkret itu, tak bisa disebut sebagai ada. Pengertian-pengertian umum hanya mengungkapkan apa yang dimiliki bersama oleh sekelompok benda. Pengertian umum itu hanya sebutan saja, bahwa pengertian umum terdapat di dalam benda konkret dan bersama-sama dengan benda konkret itu.
Yang khusus itu (partikular) dikaitkan dengan istilah substansi, yaitu benda yang dapat ada tanpa tergantung pada yang lain. “Benda” semacam  ini bukan sekedar forma atau sebongkah bahan. Benda ini justru gabungan antara bahan dan forma. Perbedaan antara bahan dan forma ini dapat kita ingat kembali dengan mengulang cara berfikir Plato. Bagi Plato apa yang dapat diinderai adalah bahan (matter) dari benda-benda yang hanya ilusi, sedangkan yang nyata adalah “bentuk” atau “pola” (forma) yang bisa ditangkap oleh pikiran. Bagi Aristoteles bahan bukan ilusi atau pelengkap yang mengiringi bentuk (forma). Bahan justru memberikan nilai khas bagi keberadaan suatu benda dalam kenyataan.
Manusia tidak seperti benda, ia berada di tengah dunia dengan cara yang khas. Yaitu bahwa manusia sadar akan benda yang ada disekitarnya. Kesadaran akan kehadiran yang lain ini akan melahirkan pengetahuan. Dalam proses mengetahui itu, manusia mencoba menggunakan apa yang dimilikinya : indera dan akal budi.
Aristoteles mau yang konkret, karena itu ia percaya pada indera. Ia tentu juga percaya pada akal budi, karena itu ia percaya sebab Tuhan. Padahal keduanya tidak bisa diindera.
Pengetahuan indera menurut Aristoteles memberikan kita pengetahuan tentang bentuk benda tanpa materinya. Maksudnya yang kita dapatkan dari inderawi hanyalah apa yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga, teraba oleh kulit, dan terbau oleh hidung. Materinya sendiri tidak pernah bisa kita masukkan ke dalam diri kita. Melalui bentuk itulah kemudian akal indera mendapatkan bahan bagi kegiatan berfikirnya. Pengalaman indera hanya terbatas pada situasi konkret.
Paham positivisme yang dibawa oleh Auguste Comte ialah satu-satunya wujud yang real adalah yang positif, yakni yang bisa diobservasi melalui indera saja. Segala wujud yang berada dibalik hal tersebut atau yang berada di luar jangkauan observasi indera, hanyalah hasil spekulasi pikiran manusia yang tidak memiliki realitas ontologis di luar kesadaran manusia.
Pandangan Aristoteles bertentangan dengan paham positivisme, karena Aristoteles percaya pada akal budi dan indera, jadi dia mempercayai dengan adanya hal yang metafisik. Aristoteles juga percaya adanya Tuhan buktinya Tuhan sebagai penyebab gerak. Pandangan Aristoteles ini sebagai dasar pemikiran filsafat islam.
Bagi filosof islam, seperti Al-Kindi, menurutnya hal yang metafisik ini meliputi hakikat Tuhan, wujud Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan. Bukti adanya Tuhan, menurut Al-Kindi (1) barunya alam, (2) keaneragaman dalam wujud, (3) kerapian alam. Pendapat auguste Comte sudah ditentang oleh filosof islam, dengan menampilkan pandangannya. Dan para filosof islam mempercayai dengan adanya hal yang tidak tampak itu. Mereka juga memberikan pengertian yang mudah dipahami mengenai hal yang tidak tampak, sehingga pandangan positivisme sudah berkurang. Terutama dengan munculnya agama, karena setiap agama pasti mempercayai hal yang tidak tampak. Positivisme pada saat ini sudah tidak cocok lagi, karena saat ini semua masyarakat sudah memiliki agama, sehingga mereka mempercayai dengan hal yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Sekalipun orang yang tidak beragama, sebenarnya mereka juga mempercayai adanya hal yang tidak tampak itu, karena mereka sudah terbelenggu oleh pemikiran dirinya sendiri.

Sumber: 
Abdul Hakim, Atang, Ahmad Saebani, Beni, Filasafat Umum, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
Q-Anees, Bambang, Juli A Hambali Raden, Filsafat Untuk Umum, Prenada Media, Jakarta 2003.
read more “FILSAFAT”