Thursday, October 8, 2009

PEMBUKTIAN

1.      Pengertian Pembuktian
Sebelum kita membahas tentang jenis alat bukti yang digunakan pada hukum acara perdata, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai pembuktian. Dalam suatu proses perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk meyelidiki ada atau tidak hubungan hukum yang menjadi dasar dari gugatan, hal ini yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu gugatan.
   Hakim akan merima suatu gugatan apabila telah terbukti bahwa terdapat hubungan hukum yang menjadi dasar dari gugatan tersebut.   Proses yang digunakan untuk mengetahui  ada tidaknya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan adalah acara pembuktian.
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah proses membuktikan  dan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil  yang dikemukan oleh para pihak dalam suatu persengketaan di muka persidangan[1]. 
Pembuktian adalah suatu usaha atau upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak-pihak berperkara di persidangan pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan [2].
Membuktian dalam arti yuridis  adalah memberi dasar-dasar  yang cukup pada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan untuk memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan[3]. 
Dari beberapa definisi tentang pembuktian yang dikemukan oleh pakar hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu proses membuktikan dan meyakinkan hakim tentang kebenaran peristiwa yang menjadi dasar gugatan dengan menggunakan bukti-bukti yang diatur oleh undang-undang.

2.      Urgensi  Pembuktian dalam Pemeriksaan Perkara
Pembuktian merupakan bagian yang penting dalam proses persidangan suatu perkara di pengadilan. Dengan pembuktian, hakim akan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perkara yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dijelaskan dalam hal apa saja pembuktian itu  harus dilakukan, siapa saja yang diwajibkan untuk membuktikan dan hal apa yang tidak perlu dibuktikan.

a.      Hal-hal yang Harus Dibuktikan
Tujuan dari pembuktian adalah untuk meyakinkan hakim tentang kebenara peristiwa, maka dari itu yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian-kejadian yang dikemukakan oleh para pihak yang masih belum jelas atau yang  masih menjadi sengketa di Pengadilan.
Hal-hal yang harus dibuktikan adalah hal yang menjadi perselisihan atau persengketaan yang diajukan oleh pihak, akan tetapi dibantah atau disangkal oleh pihak lain[4].
Menurut Abdul Manan, peristiwa peristiwa yang harus dibuktikan di muka sidang Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[5]:
1)      Peristiwa yang dibuktikan harus merupakan peristiwa yang menjadi sengketa, karena tujuan dari pembuktian adalah mencari kebenaran untuk menyelesaikan sengketa.
2)      Peristiwa yang dibuktikan harus dapat diukur, terikat oleh ruang dan waktu.
3)      Peristiwa yang dibuktikan harus mempuyai kaitan dengan hak yang disengketakan
4)      Peristiwa itu efektif untuk dibuktikan. Terkadang untuk membuktikan adanya suatu hak terhadap peristiwa memerlukan beberapa rangkaian  peristiwa, oleh karena itu  peristiwa yang satu dengan lainnya harus merupakan satu  mata rantai.
5)      Peristiwa tersebut tidak dilarang oleh hukum dan kesusilaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut tidak semua peristiwa yang dikemukan oleh para pihak  penting bagi hakim sebagai dasar pertimbangan nantinya untuk memutuskan sengketa yang terjadi. Hakim dituntut untuk teliti dalam hal ini, hakim hanya akan membuktikan  peristiwa-peristiwa yang relevan dengan sengketa yang dikemukan oleh para pihak.
b.      Pihak yang Dibebani  Pembuktian
Beban pembuktian harus dilakukan secara adil. Jika pada suatu sengketa hanya satu pihak saja yang diberi beban pembuktian, sedangkan pihak yang lain tidak, hal ini akan menjerumuskan pada jurang kekalahan. Jadi sekali lagi hakim dituntut utuk adil dalam pembagian beban pembuktian terhadap pihak yang bersengketa di muka sidang peradilan.
Dalam Pasal 163 HIR disebutkan bahwa jika seseorang  mengatakan mempunyai suatu hak, atau menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya tersebut, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang tersebut harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian tersebut[6].
Senada dengan penjelasan di atas, dalam Pasal 1865 BW disebutkan bahwa setiap orang yang mendalihkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya sendiri maupun untuk membatah hak orang lain terhadap suatu peristiwa, maka dia wajib untuk membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut[7].
Dari penjelasan di atas, bahwa yang dibebani pembuktian adalah pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara. Pihak yang mengakui mempunyai suatu hak harus membuktikan akan hak tersebut, sedangkan pihak yang membatah terhadap hak tersebut, juga harus membuktikan bantahannya.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang  beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim[8], yaitu:
1)      Teori Pembuktian yang Bersifat Menguatkan Belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini orang yang mempuyai hak harus membuktikan hak tersebut, bukan mengingkari atau menyangkalnya. Dasar yang menjadi teori ini adalah bahwa hal yang negatif tidak perlu untuk dibuktikan. Hal negatif tidak mungkin menjadi dasar dari suatu hal, meskipun mungkin pembuktian terhadap hal negatif dilakukan, akan tetapi hal tersebut tidak penting dan tidak dapat dibebankan kepada seseorang. Teori ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.
2)      Teori Hukum Subyektif
Menurut teori hukum ini suatu proses perdata merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif. Teori ini menyebutkan bahwa  barang siapa mengakui mempunyai hak, maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut. Sedangkan pihak lain yang membantah hak tersebut harus membantah dan membuktikan bahwa hak tersebut tidak ada. Teori ini berdasarkan ketentuan Pasal 1865 BW.
3)      Teori Hukum Obyektif
Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti penggugat minta pada hakim agar menerapkan ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Maka dari itu penggugat membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukan dan mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan terhadap peristiwa tersebut.
4)      Teori Hukum Publik
Menurut teori ini, mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu, maka hakim diberi kewenangan yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu para pihak ada kewajiban untuk membuktikan yang bersifat hukum publik, yakni membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5)      Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram, asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini  adalah kedudukan prosesuil yang sama daripada para pihak di muka hakim. Hakim berdasarkan kesamaan kedudukan harus  memberikan beban yang sama kepada para pihak untuk membuktikan  terhadap apa yang didalihkan. Akibat dari asas ini adalah setiap pihak mempuyai kesempatan yang sama untuk menang. Hal yang harus dibuktikan adalah hal-hal yang positif saja, yakni adanya suatu peristiwa bukan tidak adanya suatu peristiwa. Demikian pula jika seseorang menguasai suatu barang, maka tidak membuktikan bahwa dia tidak berhak terhadap barang tersebut. Sebaliknya, jika seseorang mengaku mempunyai hak yang berada dalam kekuasaan orang lain, maka dia harus membuktikan bahwa dia berhak atas barang tersebut.


[1] Subekti, Hukum Pembuktian, h. 1
[2] Victor M. Situmorang dan Cormentya Sitanggung, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, h. 86
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, h. 109
[4] Subekti, Hukum, h. 11
[5] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 229-230
[6] R.Soesilo, RIB atau HIR dengan Penjelasan, h. 119
[7]Burgerlijk Wetboek, Terj: R.Soesilo dan Pramudji R, h. 419
[8] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara, h. 116-118

Oleh : Nida Nihayatul Hamdana



read more “PEMBUKTIAN”

HIBAH

1.      Pengertian Hibah
Hibah berasal dari kata  وهب- يهب- وهبا- ووهبا-وهبة yang berarti pemberian tanpa imbalan[1]. Selanjutnya kata hibah dimaksudkan sebagai tindakan atau perbuatan memberikan sesuatu kepada orang baik berupa harta atau selain harta[2].
Hibah mempunyai dua pengertian, secara umum hibah dapat diartikan memindahkan kepemilikan barang kepada orang lain ketika masih hidup. Arti hibah secara khusus adalah pemindahan kepemilikan suatu benda yang bukan suatu kewajiban pada orang lain ketika masih hidup dengan ījāb dan qabūl  tanpa mengharapkan pahala atau kerena menghormati dan juga bukan karena menutupi kebutuhan[3]. 
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hukum yang digunakan oleh orang muslim Indonesia meyebutkan pada Pasal 171 huruf g, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan  dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. [4]
Dari beberapa pengertian di atas hibah merupakan pemindahan kepemilikan atas harta dari seseorang kepada orang lain ketika masih hidup tanpa mengharapkan imbalan atau pahala, yang dilakukan dengan ījāb dan qabūl.
Hibah berbeda dengan wasiat ataupun waris. Hibah, wasiat dan waris  sama-sama membahas mengenai perpindahan hak milik atas suatu harta pada orang lain, akan tetapi diantara ketiganya memiliki ciri-ciri  khusus yang menjadikannya berbeda satu sama lainnya.
Hibah merupakan tindakan pengalihan hak milik atas suatu harta yang dilakukan semasa hidup kepada orang yang dikehendaki oleh si pemberi hibah dan dilakukan seketika itu (tanpa menunggu si pemberi hibah meninggal).
Wasiat adalah pemindahan hak milik atas suatu harta dimana pelaksanaan atas pemindahan hak milik itu dilakukan setelah si pewasiat meninggal dunia (pesan orang yang sudah meninggal). 
Pemindahan hak milik harta bisa juga dilakukan dengan  cara waris. Waris merupakan salah satu cara pemindahan harta  dimana antara si pewaris dan si penerima waris tidak ada perjanjian sebelumnya . Syarat harta yang dipindahkan dengan cara waris adalah si pewaris meninggal dan si penerima waris merupakan keluarga dari pewaris.
Islam sangat menganjurkan untuk saling memberi dan tolong menolong kepada sesama muslim. Hal ini dimaksudkan agar dihati orang-orang muslim akan timbul rasa saling menyayangi dan mengasihi.
Dalam al-qur’an Allah berfirman bahwa seorang muslim tidak akan sampai pada kebajikan yang sempurna sebelum dia memberikan apa yang  dia disenangi kepada orang lain
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ
Artinya :”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”(QS. Ali Imran ayat 92)[5].

Dalam hibah ada dua point yang hendak dicapai. Pertama, dengan memberikan harta pada orang lain akan menimbulkan suasana keakraban dan saling menyayangi antara sesama manusia. Mempererat hubungan silaturrahmi antara sesama muslim merupakan salah satu ajaran agama Islam. Point  yang kedua yang ingin dicapai dalam hibah adalah terbentuknya suatu kerja sama dalam berbuat baik


2.      Rukun Hibah
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidāyatul Mujtahid meyebutkan bahwa rukun hibah ada tiga yaitu
a.       Orang yang menghibahkan atau al-wāhib
b.      Orang yang menerima hibah atau al-mawhūb lah
c.       Pemberiannya atau perbutan hibah atau disebut juga dengan al-hibah[6].
Menurut Sayyid Sabiq bahwa  selain rukun  yang telah disebut di atas, yang terpenting untuk menentukan sahnya perbuatan hibah adalah ṣīghat, dalam hal ini ījāb dan qabūl. Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa yang penting adalah qabūl, sedangkan kalangan Maẓhab Hanafi berpendapat bahwa ījāb saja sudah cukup tanpa diikuti dengan qabūl, dengan kata lain hibah merupakan pernyataan sepihak. Sedangkan ulama’  Hanabilah berpendapat bahwa hibah itu sah dengan pemberian yang menunjukkan keterkaitan dengannya, hal ini berdasarkan tindakan nabi dan para sahabat yang melakukan hibah tanpa mensyaratkan adanya ījāb dan qabūl[7].

3.      Syarat Hibah
Hibah mensyaratkan adanya pihak pemberi hibah, pihak penerima hibah dan barang yang dihibahkan.
a)      Syarat-syarat Pemberi Hibah (al-wāhib)
Ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan syarat bagi al-wāhib. Menurut Ulama’ Hanfiyah syarat al-wāhib sebagai berikut:
1)    Orang merdeka
2)    Orang yang mempunyai akal yang sehat (tidak gila)
3)    Orang yang telah dewasa dan mampu untuk membelanjakan harta
4)    Pemberi hibah adalah pemilik dari harta yang akan dihibahkan[8].
Ulama’ Mālikiyyah menetapkan syarat al-wāhib adalah  ahlan li at-tabarru’ orang yang berhak untuk berderma atau bersedekah[9]. Yang dimaksud  ahli tabarru’ adalah
1)      Orang merdeka
2)      Bukan orang yang banyak hutang
3)      Orang yang mempunyai akal yang sehat
4)       Islam
5)       Bukan seorang isteri, jika harta yang dihibahkan melebihi dari 1/3 harta, kerena seorang isteri ketika menghibahkan harta melebihi 1/3 harta harus mendapat izin dari suami
6)      Bukan orang sakit yang sudah mendekati kematian, syarat ini berlaku jika harta yang dihibahkan melebihi1/3. Jika menghibahkan melebihi 1/3 maka harus mendapatkan  persetujuan ahli waris
Ulama’ Syafi’iyyah mensyaratkan al-wāhib adalah pemilik yang sebenarnya dari harta yang dihibahkan, orang yang berhak membelanjakan hartanya. Selain tersebut, syarat al-wāhib adalah sama halnya syarat orang yang sah melakukan transaksi jual beli[10]. Ulama’ Hanabilah mensyaratkan al-wāhib adalah orang yang boleh membelanjakan hartanya[11].
Berdasarkan pendapat para ulama’ di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa pada dasarnya syarat al-wāhib adalah:
-         Pemilik dari harta yang dihibahkan
-         Orang yang tidak dibatasi haknya untuk membelanjakan hartanya
-         Orang yang cakap dalam bertindak menurut hukum
b)      Syarat-syarat Penerima Hibah (al-mawhūb lah)
Syarat al-mawhūb lah menurut ulama’ Hanafiyah  tidak disyaratkan seperti halnya wāhib, menurut mereka harta yang dihibahkan kepada anak kecil hukumnya sah. Menurut ulama Hanabilah syarat al-mawhūb lah adalah orang yang berhak untuk membelanjakan harta. Sedangkan ulama’ Syafi’iyyah mensyaratkan al-mawhūb lah adalah orang yang mempunyai hak untuk memiliki barang[12].
Sayyid Sabiq mengemukan bahwa syarat al-mawhūb lah tidak diharuskan seperti wāhib. Tentang syarat al-mawhūb lah menurut beliau haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Jika al-mawhūb lah saat hibah berlangsung dalam  kondisi masih kecil atau gila, maka yang menerima hibah adalah wali dari si al-mawhūb lah [13].
c)      Syarat Barang yang Dihibahkan (al-mawhūb)
Al-mawhūb disyaratkan adalah barang yang benar-benar ada dan mempunyai nilai. Penghibaan barang yang belum menjadi milik wāhib menjadi batal. Selain itu, barang yang dihibahkan haruslah barang yang dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya, kepemilikan barang tersebut dapat dialihkan, dapat dipisahkan dan dapat diserahkan kepada penerima hibah (al-mawhūb lah)[14].


[1] Louis Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lugah Wa al-‘Alam, h. 920
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz III, h. 388
[3] Depatemen Agama RI, Ensiklopedia Islam,  Jilid I, h. 360
[4] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,  h. 133
[5] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  h. 63
[6] Ibnu Rusyd, Bidāyatul Mujtahid Wa Nihāyatul Muqtaṣid, Jilid III,  Terj: Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, h. 346
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz III, h. 390
[8] Jaziri, al-, Abdur Rahman, Al-Fiqh ‘Alā Madhāhib al-Arba’ah, Juz III, h. 294
[9] Ibid., h. 296
[10] Ibid., h. 299
[11] Ibid., h. 300
[12] Ibid., h. 249-300
[13] Sayyib Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz III,  h. 390
[14] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata,  h. 136

OLEH : Nida Nihayatul Hamdana



read more “HIBAH”