Thursday, January 21, 2010

Berkenalan dengan diri sendiri

Di negeri yang bernama Indonesia ini semuanya bisa terbolak-balik. Orang bersalah bisa menjadi benardan tak tersentuh hukum, sementara wong cilik yang tak bersalah justru bisa meringkuk tak berdaya dalam penjara.
Akrobatik logika inilah yang dimunculkan oleh butet kartaredjasa dalam lakon sarimin, sebuah monolog yang ditampilkan di graham bhakti budaya taman ismail marzuki (TIM), Jakarta, 14-18 november 2007. penampilan raja monolog butet ini merupakan rangkaian hajatan besar art summit Indonesia 2007.
Sarimin, seorang tukang monyet keliling, diperankan butet kertasedjasa. Peria tua berusia 54 tahun ini suatu hari menemukan sebuah kartu tanda penduduk (KTP), karena sarimin buta huruf, ia tidak bisa membaca informasi yang tertera dalam ktp tersebut dan memutuskan menyerahkannya kepada polisi.
Akan tetapi, polisi yang bertugas tidak menghiraukannya dan terus mengetik tigas-tugasnya yang berjibun. Banyak tugas yang lebih besar dan penting yang harus dilakukan yang harus dilakukan (polusi eh salah!polisi maksudnya)polisi dibandingkan melayani wong cilik macam sarimin.
Sarimin pun dibiarkan bertahun-tahun menunggu hingga suatu saat seorang petugas menegurnya dan menanyakan urusannya. Sarimin yang berniat menyerahkan KTP yang ia temukan tersebut ternyata malah dituduh mencuri dan berniat melakukan pemerasan karena ternyata KTP tersebut milik hakim agung kamu bisa dikenai pasal 322 dan pasal 368 lho tegas polisi tersebut.
Meski mati-matian ia menolak tuduhan tersebut, sariminpun tetap dijerumuskan dalam bui. Binsar, seorang pengacara yang membelanya, justru menyarankan sarimin untuk mengaku bersalah.
Di manakah keadilan?
Nasib buruk sarimin adalah gambaran hidup wong cilik di Indonesia. Tertindas, tak punya pilihan, dipermainkan dan dimiskinkan secara structural. Di manakah keadilan jika orang benar dipaksa mengaku salah?
Dalam pertunjukannya, butet dengan lincah berganti-ganti peran: menjadi sarimin, polisi dan pengacara binsar. Semua tokoh ia hidupi dengan interpretasinya. Ketakberdayaan sarimin, arogansi polisi dan pengacara yang hanya mencari nama pun tersaji apik penuh banyolan khas butet. Penonton pun terpingkal mendengar celetuk-celetuknya.
Monolog yang skenarionya ditulis Agus noor ini merupakan buah diskusi panjang bersamapraktisi hokum Pradjoto SH. Musik garapan djaduk Ferianto menghidupkan suasana.
Lewat pergelaran yang berdurasi nyaris dua jam ini penonton diajak untuk berkaca: inilah potert hokum di Indonesia. Kita semua diajak merenung: ketika hokum berpisah dengan keadilan, ketika hokum bercerai dengan kebenaran, ketika penegakan hokum menjadi cerita duka nestapa, maka yang terjadi bukan hanya derita umat manusia, tetapi runtuhnya peradaban sebuah bangsa. Kompas!!!





0 comments:

Post a Comment