Thursday, May 28, 2009

SMOKING CIGARETTE IS NOT GOOD FOR OUR HEALTH

Many people die because of consuming cigarette in their life. They’ve known that smoking is not good for their health they still use it because they thought that it can make them relax and enjoy, and not only adults consume the cigarette but also teenagers such as if their both parents smoke, a teenager is more than twice as likely to smoke than a young person whose parents are both non smokers. In households where only one parent smokes, young people are also more likely to start smoking. Therefore, there are several effect of smoking cigarette: First, we can get lung and cancer diseases. Second, we can be addicted. And finally, it make hindrance pregnancy for woman and cause the high mortality rate in our country.
Firstly, we can get lung and cancer diseases. In U.S more than 400,000 deaths each year are from smoking related illness. And smoking greatly increases your risks for lung cancer and many other cancers. The diseases can attack not only young people but also older people who are smoking cigarette.
Secondly, we can be addicted. Smoking is an addiction such as tobacco smoke, it contains nicotine and a drug that is addictive and make it very hard, but not impossible, to quit. The smoking harms not just the smoker, but also family members, cowokers and others who breathe the smoker’s cigarette smoke, called second smoke. It because they are addictive. For example secondhand smoke from a parent’s cigarette increases a child’s chances for middle ear problems, causes coughing and wheezing, and worsen asthma conditions. And among infants to 18 months of age, secondhand smoke is associated with as many as 300,000 cases of bronchitis and pneumonia each year. This is the worse cases that ever had in the world.
Finally, it make hindrance pregnancy for woman and cause the high mortality rate in our country. The pregnant women who smoke are more likely to deliver babies whose weights are too low for the babies’ good health. If all women quit smoking during pregnancy, for about 4,000 new babies would not die each year. And the high mortality rate in every country will decrease.
This all effect is very dangerous for our health, so there are several way to solve this problems. First, quitting smoking makes a difference right away, you can taste and smell food better. Your breathe smells better. Your cough goes away. This happens for men and women of all ages, even those who are older. It happens for healthy people as well as those who already have a diseases or condition caused by smoking. Second, quitting smoking cuts the risk of lung cancer, many other cancers, hearth disease, stroke, other lung diseases, and other respiratory illness. Third, ex-smokers have better health than current smokers. Ex-smokers have fewer days of illness, fewer health complaints, and less bronchitis and pneumonia than current smokers. Finally, quitting smoking saves money. A pack a day smoker, who pays 2 dollar per pack can, expect to save more than 700 dollar per year. It appears that the price of cigarettes will continue to rise in coming years, as will the financial rewards of quitting.
In conclusion, the effect of smoking cigarette is not good for our health because it’s not good for our body, so we will get many diseases, such as lung diseases, cancer, cough, be addicted, and also make hindrance pregnancy for women and cause the high mortality rate in our country. So if you never smoke before, don’t ever try it because smoking is very bad for our health in our life.




read more “SMOKING CIGARETTE IS NOT GOOD FOR OUR HEALTH”

Wednesday, May 20, 2009

FATIMA MERNISSI; GELIAT IDEOLOGI KESETARAAN

Fatima Mernissi lahir tahun 1940 di Fez, Maroko. Ia tinggal dan di besarkan dalam sebuah Harem bersama ibu dan nenek-nenreknya serta saudara perempuan lainnya. Sebuah Herem yang di jaga ketat seorang penjaga pintu agar perempuan-perempuan itu tidak keluar. Harem itu juga di rawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan.
Maroko merupakan salah satu dari negara-negara teokrasi dikawasan arab muslim yang masih kental memegang tradisi Patriarki, poligami, herem dan hijab. Dimana praktek yang dianggap sebagai bagian dari tradisi patriarki yang sangat menonjol di kawasan Arab termasuk Maroko pada saat itu.
Fatima Mernissi, salah seorang feminis Arab muslim yang terkenal dan termasuk generasi pertama perempuan Maroko yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Dia kuliah di Universitas Muhammad V di Rabat, kemudian melanjutkan pendidikan untuk menerima gelar doktornya dalam bidang sosiologi di Amerika Serikat pada tahun 1973. Dia kembali ke Maroko untuk mengajar di almamaternya dan bekerja di sebuah lembaga penelitian di Rabat.
Sewaktu Mernissi (panggilan akrab Fatima Mernissi) lahir, para nasionalis maroko berhasil merebut kekuasaan pemerintahan negara dari tangan kolonial Prancis. Ini di akui Mernissi “… jika saya di lahirkan dua tahun lebih awal saya tidak akan memperoleh pendidikan, saya lahir pada waktunyang sangat tepat”. Kaum nasionalis yang berjuang melawan perancis pada waktu itu menjanjikan akan menciptakan Maroko yang baru, negara persamaan untuk semua. Setiap perempuan memiliki hak yang sama atas pendidikan sebagaimana laki-laki. Mereka juga akan menghapus praktek perkawinan poligami.
sejak masa kecil Marnissi mempunyai hubungan yang ambivelen dengan agama. Ini di karenakan adanya perbedaan dan ketegangan cara pandang terhadap Al-Quran yang diterima di sekolah pengajiannya dengan apa yang diterangkan oleh neneknya. Dimana sekolah dia di ajarkan dengan adanya ketegangan, setiap hari dia selalu dituntut untuk menghafal sedangkan neneknya selalu mengajarkan Islam dengan indah, menggunakan gaya bahasa sastra dan kedamaian dalam Islam. Inilah yang melekat dalam diri Mernissi.
Mernissi adalah salah satu tokoh dari sekian feminis muslim yang berusaha melakukan pemurnian pemahaman terhadap konsep-konsep agama khususnya mengenai masalah yang terkait dengan relasi antara laki-laki dan perempuan. Dia melakukan kajiannya melalui pola keritis dan analisis historis, dia memulai menanyakan hal-hal yang merisaukan;
Munkinkah Islam yang dikenal dengan Rahmatal lil ‘alamin mengajarkan diskriminasi pada perempuan?, Apakah benar Sabda Rasul memojokkan perempuan ?, Dan mungkinkah tradisi Islam; kedamaian Islam ada pembeda antara laki-laki terhadap perempuan?
Dalam diri Marnissi terdapat sikap melekat dan sudah bertahun-tahun tertanam dalam dirinya, menurut Mernissi, Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam sangat tergantung pada bagaimana perspektif dan presepsi subjek/manusia terhadapnya. Ayat-ayat suci ini bisa menjadi gerbang untuk meleraikan diri atau bisa juga menjadikan hambatan yang tidak bisa dibatasi. Al-Qur’an, kata Mernisi bisa menjadi pembawa kita kedalam mimpi atau malah pelemah semangat belaka.
Mernissi juga berpendapat, dalam tradisi Islam perempuan kurang adanya publikasi atas perjuangannya, dimana dalam sejarah Islam sendiri, perempuan kurang banyak ditulis, mereka hanya mengedepankan jihad di medan perang dalam kisah-kisah rasul. Bahkan sejarah perempuan hampir tidak tersentuh. Adanya Ratu Bilqis yang memimpin, perjalanan Siti Maryam dengan Nabi Isa. Pada peristiwa-peristiwa tersebut jarang adanya ahli sejarah yang menulis tentang hal tersebut dan begitu pula perempuan-perempuan yang lainnya.
Mernissi juga merasa adanya Hijab antara perempuan dan laki-laki, dalam benaknya selalu bertanya, kalau memang ada hijab kenapa harus ditutupi dan dibatasi.
Nah, dengan beberapa pergolakan pertanyan tersebut akhirnya Fatima Mernissi bangkit dan melakukan gerakan feminisme yang ia mulai dengan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Qur’an dan al-Hadits. Riset sejarah dan analisis-sosiologis, Mernissi berusaha menguak dan membongkar pemahaman tersebut dan kemudian memberikan penafsiran alternatif.
Dalam beberapa karyanya, Mernissi juga mencoba menunjukkan bahwa kekurangan-kekurangan yang ada dalam pemerintahan Arab bukanlah karena-secara inheren-ajaran-ajaran religius yang notabenenya menjadi undang-undang dasar pemerintahan tersebut cacat. Namun karena ajaran agama di manipulasi oleh orang yang berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri. Meskipun disatu sisi, Mernissi membela negara arab, ketika negara-negara ini disoroti dan di citrakan negatif oleh pers barat.
Mayoritas karya Mernissi mencoba menggambarkan bahwa ajaran Agama bisa dengan mudah di manipulasi, karenanya Mernissi pun percaya bahwa penindasan terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang di buat-buat, bukan ajaran agama Islam. Maka dari itu ia sangat berani dan tidak takut membongkar tradisi yang dianggap sakral oleh masyarakat selama ini.
Sebagai salah satu orang yang ditokohkan sebagai feminis, tulisan-tulisan Mernissi bisa dikatakan tidak semata-mata berisi uraian normatif tetapi juga dengan analisa sosiologinya.
Kajian feminisme tidak akan pernah mati selama patriarki belum terserabut dari akarnya, dan kekerasan terhadap perempuan belum berakhir. Ketiak semua itu masih terjadi, feminisne akan terus tumbuh. Bukan saja Mernissi yang akan menguak akan tetapi akan ada Mernissi-Mernissi yang lain yang akan tumbuh.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah batasan-batasan ke-perempuan-an dalam Islam, mengingat doktrin normatif memberikan ruang tersendiri bagi perempuan?, apakah kesetaraan gender sebagai antitesis, memberikan sintesis feminisme sebagai alternatif gerakannya?, Wallahu a’lamu!




read more “FATIMA MERNISSI; GELIAT IDEOLOGI KESETARAAN”

Friday, May 15, 2009

ILMU-SOSIAL-BERBASIS-HERMENEUTIK.

Pengantar
Setiap penelitian dan observasi senantiasa bermuara pada sebuah pengetahuan. Dan pengetahuan yang akan dihasilkan juga bergantung pada objek yang akan diteliti. Meminjam distingsi W. Dilthey, jika obyek yang diteliti dan diobservasibertaut dengan berbagai gejala alam, maka masuk ke dalam tipe ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Tapi, jika obyek yang diteliti dan diobservasi terkait dengan gejala kemanusiaan dan kebudayaan, maka masuk ke dalam tipe ilmuilmu roh/budaya (geisteswissenschaften).
Persoalannya sekarang, apakah dengan perbedaan obyek itu, juga diperlukan pendekatan yang berbeda? Jawabannya dalam sejarah filsafat pengetahuan sampai saat ini tidak seragam. Salah satu jawaban yang mendominasi dunia intelektual sejak puncak zaman modern ini adalah tak perlu ada perbedaan pendekatan.2 Karena pendekatan ilmu-ilmu alam telah sukses menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi. Diyakini bahawa sukses yang sama juga akan diperoleh jika pendekatan yang sama diterapkan dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan seluruh wilayah kenyataan, termasuk kenyataan sosial. Pandangan ini dipopulerkan Auguste Comte, Ernst March, para filsuf Lingkungan Wina, yang notabene sebagai tokoh dan penganut aliran Positivisme.
Pendekatan ilmu-ilmu alam yang meniscayakan adanya distansi penuh, netralitas, bebas kepentingan, universal dan dapat diterapkan secara instrumental diandaikan oleh positivisme dapat diterapkan pada penelitian sosial. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dipahami sebagai potret fakta sosial yang bebas dari kepentingan (free value), tidak mengandung interpretasi subyektif dari penelitinya. Siapapun orangnya, asal memenuhi prosedur-prosedur penelitian yang dibuat ilmu alam, tidak akan mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan. Sehingga pengetahuan itu dapat dipakai secara instrumental oleh siapa saja, karena sifatnya yang universal dan instrumental.3
Paradigma-paradigma semacam itu, kini turut mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu di Indonesia. Baik secara canggih atau kasar, pendekatan ilmu alam juga diterapkan dalam penelitian sosial, seolah tanpa persoalan. Padahal, dengan paradigma semacam itu, sebuah penelitian hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang das sein (apa yang ada) bukan das sollen (apa yang seharusnya ada). Dengan cara itu, pengetahuan tidak mendorong perubahan, tapi hanya menyalin data sosial. Di sini positivisme mengidap sebuah masalah, bukan hanya bagi ilmu pengetahuan (episteme), melainkan juga bagi kemanusiaan.4
Memang, dewasa ini positivisme telah mengalami pembaruan dalam beberapa segi, seperti digagas oleh para filsuf Lingkungan Wina (Wiener Kreist) yang dikenal dengan positvisme logis, neo-positivisme atau empirisme logis,5 namun tetap tidak bisa keluar dari karakter aslinya yang bersifat empiris-obyektif, deduktif-nomologis, instrumental dan bebas nilai. Dengan standar itu, positivisme tetap tidak akan mampu menangkap-menangkap proses-proses sosial, seperti tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis.

Verstehen: Paradigma Ilmu Sosial
Dunia kehidupan sosial sebagai wilayah operasi ilmu-ilmu sosial dapat dikatakan sebagai pengetahuan pra-teoritis. Dikatakan demikian, karena dunia kehidupan sebagai objek ilmu-ilmu sosial belum terstruktur secara simbolis. Para pelaku kehidupan sosial dalam berbicara bukan dengan silogisme dan juga bertindak bukan menurut pola hubungan subjek-objek, seperti disebut Habermas dengan ‘tindakan instrumental’. Para pelaku dalam kehidupan sosial hanya mampu berbicara dalam language-games yang melibatkan unsur kognitif, emotif dan volisinal manusia serta bertindak dalam kerangka ‘tindakan komunikatif’: suatu tindakan untuk mencapai pemahaman timbal balik.6
Dunia kehidupan sosial ini tidak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan melalui pemahaman (verstehen). Apa yang ingin ditemukan dalam ilmu sosial bukanlah ‘kausalitas’, melainkan ‘makna’. Karena itu, tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Dalam hal ini, seorang ilmuwan sosial tidak berbeda dengan pelakudalam dunia sosial. Ia harus masuk dan berpartisipasi dalam dunia kehidupan sosial itu.
Pada titik ini, tampak jelas perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam mendekati objeknya. Menyitir pendapat Dilthey, ilmu-ilmu alam hanya berusaha menjelaskan (eklaren) objeknya menurut penyebabnya (kausalitas). Disini pengalaman dan teori berdiri secara diametral. Antara subjek-objek terdapat sebuah distansi. Sementara ilmu-ilmu sosial bertumpu pada verstehen, yakni paduan pengalaman dan pemahaman teoritis. Karena pengalaman dan struktur simbolis yang dihasilkan di dalam dunia kehidupan sosial tak bisa tampak ‘dari luar’ seperti data alamiah yang diobservasi oleh ilmu-ilmu alam, tetapi harus melibatkan subjek sosial itu sendiri. Makna-makna yang terkandung di dalam tindakan, pranata, produk-produk kultural, kata-kata, jaringan-jaringan kerjasama sosial, dokumen-dokumen, dan seterusnya, hanya dapat diketahui ‘dari dalam’.7

Hermeneutik sebagai Alternatif
Kini, bagaimana seorang ilmuwan sosial dapat mengetahui objeknya ‘dari dalam’? Jurgen Habermas menawarakan Hermeneutik sebagai metode alternatif yang dapat digunakan. Metode ini sudah lama dipakai dalam teologi, filsafat, tafsir teks-klasik, tafsir Kitab Suci, dan seterusnya, dan sekarang ini diterapkan pada ilmu-ilmu sosial.
Sejak awal, metode Hermeneutik senantiasa berurusan dengan penafsiran, dan yang ditafsirkan adalah teks. Pengertian “teks” dapat diperluas dalam penelitian sosial menjadi objek-objek dan struktur-struktur simbolis. Teks itu dihasilkan oleh “pengarang” yaitu para pelaku sosial—analogi-analogi teks dan dunia sosial perlu diikuti. Sebagai sebuah teks, masyarakat yang hendak ditafsirkan untuk dipahami dan ditangkap maknanya (sinnverstehen), tentu mengharuskan keterlibatan “peneliti dari dalam”. Keterlibatan itu, menurut Fredrich Schleiermacher menyaratkan adanya empati psikologis. Artinya, peneliti harus mampu masuk kedalam isi teks-sosial (yaitu pranata-pranata, tingkah laku, interaksi, dan seterusnya) sampai “mengalami kembali” pengalaman-pengalaman pengarangnya, yaitu pengalaman para plaku sosial. Bagaimanapun harus disadari, peneliti sesungguhnya adalah reproduksi pengalaman para pelaku sosial.8
Namun, teori empati yang dikampanyekan Schleiermacher dianggap terlalu psikologistis oleh Dilthey. Yang direproduksi, menurut Dilthey, bukanlah pengalaman pengarang atau pelaku sosial, melainkan bagaimana proses teks-sosial itu terbentuk.9 Kalau anda meneliti upacara inisiasi, kepemimpinan desa, karya seni, sistem kepercayaan religius orang Yogya dan seterusnya, anda harus menemukan kaitan-kaitan antara proses-proses mental para pelaku dan bagaimana semua itu dilahirkan dalam bentuk pranata-pranata atau teks sosial itu. Bukan struktur-praksis, melainkan struktur-struktur simbolis.10
Setelah menemukanketerlibatan metodis itu, peneliti perlu menangkap tiga unsur hakiki yang terkandung dalam teks sosial, yaitu pengalaman, ungkapan, dan pemahaman dari pengarang teks-sosial (pelaku sosial). Pengalaman adalah unsur-unsur subjektif yang ada dalam penghayatan internal pelaku-sosial, misalnya hasrat, cita-cita, harapan, pengertian, pandangan, gerak hati, dan seterusnya. Itu semua mendapat bentuk lahiriahnya dalam wujud tingkah laku, gerak-gerik, pranata, karya seni, tulisan, organisasi, dan seterusnya. Pemahaman dari konfrontasi, dialog, dan pencapaian konsensus terjadi. Di sini pula pemahaman dialektis antara pengarang dan peneliti tidak hanya menjadi inti penafsiran hermeneutis, melainkan juga praksis komunikasi.11


1 Tulisan ini secara garis besar disarikan dari buku F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003.
2Bandingkan dengan tulisan Jujun Suriasumantri “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Cet. Keenambelas, Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 2006, hal. 19-20.
3F. Budi Hardiman, “Penelitian dan Praksis” dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yaogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 23
4‘Masalah’ terjadi karena peralihan masyarakat dari keaadaan lama ke keadaan baru yang belum pasti. Cara berpikir lama (mitis, teologis) ditinggalkan tapi cara berpikir baru (saintis) belum sepenuhnya terintegrasi dalam diri manusia, sehingga hanya menghasilkan keresahan dan kegelisahan yang mendalam akibat belum terbentuknya welltanschauung.
5Lihat, K. Bertens, Fisafat Kontemporer: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, hal 128.
6 F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi:Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, h. 122
7 F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik” dalam Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 63
8 F. Budi Hardiman, “Penelitian dan Praksis”, h. 31
9 F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik”, hal. 64
10 F. Budi Hardiman, Penelitian dan Praksis”, h. 32
11 ‘Praksis’ disini mengacu pada tingkah laku, tindakan, perbuatan, kegiatan-kegiatan manusia. Dan praksis itu bukan “kerja” yang mengacu pada hubungan manusia dengan alam, subjek dengan objek belaka untuk mengontrolnya secara teknis, melainkan komunikasi yang mengacu pada hubungan antar manusia, antar subjek sosial untuk mencapai pemahaman timbal balik.




read more “ILMU-SOSIAL-BERBASIS-HERMENEUTIK.”

MENGENAL FILSAFAT FENOMENOLOGI

Pendahuluan

Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.

Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.


Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini.

Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan pada hakekat filsafat fenomenologi itu sendiri, kemudian cara kerja pendekatan fenomenologi, selanjutnya kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan, dan terakhir kritik terhadap fenomenologi.  


Pembahasan

A. Hakekat Fenomenologi

Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. 

Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).

Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.

Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.

Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. 

Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni. 

Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.

Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition). 

Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.

Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti. 

Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain. 

B. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu

Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri). 

Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.

Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran. 

Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.

2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.

3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.

4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. 

Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.

C. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan

Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.

Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal. 

Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.

Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu. 

Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.

Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.

D. Kritik Terhadap Fenomenologi

Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.

Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.

Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud. 

Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi. 

Penutup

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik. 

Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, yang dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: "The scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles." 

DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral, 2001, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: komunitas Bambu.

Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.

Connolly, Peter, (Ed.), 2002, Approaches to the Study of Religion, Terj. Imam Khoiri, Aneka Pendekan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS.

Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ghazali, Adeng Muchtar, 2005, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia.

Kasiram, Moh., 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister by Research, Malang: Program Pascasarjana UIIS Malang.

Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.

Sills, David L., (Ed.), 1968, International Encyclopedia of the Social Sciences, London: Crowell Collier & Macmillan, Inc.

Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.


sumber : cute pinky blog

read more “MENGENAL FILSAFAT FENOMENOLOGI”

Tuesday, May 12, 2009

Hukum Pemilu Menurut Syariat Islam

Pemilu di Indonesia saat ini ditujukan untuk: 1) Memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR/Parlemen; 2) Memilih penguasa.
1. Memilih wakil rakyat.
 
Dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih wakil rakyat merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakalah). Hukum asal wakalah adalah mubah (boleh). Dalilnya antara lain:

Pertama, hadis sahih penuturan Jabir bin Abdillah ra. yang berkata: Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi saw. Beliau kemudian bersabda:
Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq (HR Abu Dawud)

Kedua, dalam Baiat ‘Aqabah II, Rasulullah saw. pernah meminta 12 wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap kepada Beliau saat itu. Keduabelas wakil itu dipilih oleh mereka sendiri.
Wakalah itu sah jika semua rukun-rukunnya dipenuhi. Rukun-rukun tersebut adalah: adanya akad (ijab-qabul); dua pihak yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan; serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shigat tawkîl). Semuanya tadi harus sesuai dengan syariah Islam.

Menyangkut Pemilu untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama adalah perkara yang diwakilkan, yakni untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu dilaksanakan. Dengan kata lain, apakah aktivitas para wakil rakyat itu sesuai dengan syariah Islam atau tidak. Jika sesuai dengan syariah Islam maka wakalah tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka wakalah tersebut batil dan karenanya haram dilakukan.

Sebagaimana diketahui, paling tidak, ada 2 (dua) fungsi utama wakil rakyat di DPR/Parlemen. Pertama: melegislasi UUD/UU. Berkaitan dengan fungsi legislasi ini, tidak ada pilihan lain bagi kaum Muslim dalam mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya kecuali dengan menggunakan syariah Allah SWT (Lihat, misalnya: QS Yusuf [12]: 40; QS an-Nisa [4]: 65; QS al-Ahzab [33]: 36). Oleh karena itu, setiap aktivitas pembuatan perundang-undangan yang tidak merujuk pada wahyu Allah (al-Quran dan as-Sunnah) merupakan aktivitas menyekutukan Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 31). Pelakunya juga bisa terkategori kafir, fasik atau zalim (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44; 45; 47).

Dalam Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik rakyat sebagaimana yang terdapat dalam sistem demokrasi. Artinya, yang diakui dalam Islam adalah ‘kedaulatan syariah’, bukan kedaulatan rakyat. Ini berarti, dalam Islam, hanya Allahlah yang berhak menentukan halal-haram, baik-buruk, haq-batil, serta terpuji-tercela; bukan manusia (yang diwakili oleh para wakil rakyat) sebagaimana dalam sistem demokrasi. Allah SWT berfirman:

Hak membuat hukum itu hanyalah milik Allah (QS Yusuf [12]: 40)

Karena itu, hukum wakalah dalam konteks membuat dan melegalisasikan UU yang tidak bersumber pada syariah, atau hukum Allah, jelas tidak boleh.

Kedua: fungsi pengawasan. Menyangkut fungsi pengawasan DPR/Parlemen—berupa koreksi dan kritik terhadap pemerintah/para penguasa atau UU yang digodok dan dihasilkan oleh DPR—jelas hukumnya wajib secara syar’i. Fungsi tersebut terkategori ke dalam aktivitas amar makruf nahi munkar, yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim, terlebih para wakil rakyat.
Jadi, dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih para wakil rakyat hukumnya dikembalikan kepada dua fungsi yang mereka mainkan di atas.

2. Memilih penguasa.

Adapun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam/khalifah) untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib. Sebab, imam/khalifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum syariah dalam negara, dan ketiadaan imam/khalifah akan menyebabkan tidak terlaksanakan hukum-hukum syariah tersebut.

Adapun dalam sistem demokrasi, Pemilu untuk memilih penguasa adalah dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Karena itu, status Pemilu Legislatif tidak sama dengan Pemilu Eksekutif. Dalam konteks Pemilu Legislatif, status Pemilu tersebut merupakan akad wakalah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun, dalam konteks Pemilu Eksekutif, statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status akad wakalah, melainkan akad ta’yîn wa tanshîb (memilih dan mengangkat) untuk menjalankan hukum-hukum tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka memilih penguasa bukan saja mubah/boleh, melainkan wajib. Demikian juga sebaliknya.

Tinjauan Politik

Selain tinjauan dari segi syariah, Pemilu (khususnya dalam memilih para wakil rakyat) dan fenomena golput juga bisa ditinjau dari kacamata politik. Dalam hal ini, Jubir HTI, HM Ismail Yusanto, berpandangan: Pertama, UU Pemilu sendiri menyebut bahwa memilih itu hak, bukan kewajiban. Jadi, bagaimana mungkin hak itu dihukumi haram ketika orang itu tidak mengambilnya. Lagipula, memilih untuk tidak memilih itu berarti juga memilih. Jadi, fatwa haram golput itu sendiri secara filosofis bermasalah.

Kedua, sekarang ini berkembang fenomena golput di mana-mana. Dalam Pilkada itu golput sampai 45%-47%. Ini angka yang sangat tinggi. Itu harus dipahami secara lebih mendalam. Jangan-jangan itu merupakan cerminan dari ketidakhirauan masyarakat karena mereka melihat bahwa proses politik (Pemilu) itu tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap kehidupan mereka.

Ketiga, ketika orang tidak menggunakan pilihan politiknya tidak bisa dikatakan bahwa dia apolitik. Sebab, boleh jadi hal itu didasarkan pada pengetahuan politik dan sikap politik; bahwa dia tidak mau terus-menerus terjerumus dalam sistem sekular yang terbukti bobrok ini.

Keempat, terkait dengan Hizbut Tahrir, Hizb memandang bahwa aktivitas politik itu tidak berarti mengharuskan Hizb ada di parlemen. Mengoreksi penguasa adalah bagian aktivitas politik. Mendidik umat dengan pemikiran dan hukum-hukum Islam juga merupakan aktivitas politik. Selama ini, itulah di antara yang telah, sedang dan akan terus-menerus dilakukan. 
oleh Hizb (Hizbut-tahrir.or.id, 27/1/2009).



read more “Hukum Pemilu Menurut Syariat Islam”

Hukum Transplantasi Organ Tubuh

Yang dimaksud dengan transplantasi organ di sini adalah pemindahan organ tubuh dari satu manusia kepada manusia lain, seperti pemindahan tangan, ginjal, dan jantung. Transplantasi merupakan pemindahan sebuah organ atau lebih dari seorang manusia –pada saat dia hidup, atau setelah mati– kepada manusia lain. Hukum transplantasi organ adalah sebagai berikut :

1. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup :

Syara’ membolehkan seseorang pada saat hidupnya –dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun– untuk menyumbangkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal. Ketentuan itu dikarenakan adanya hak bagi seseorang –yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya akibat perbuatan orang lain– untuk mengambil diyat (tebusan), atau memaafkan orang lain yang telah memotong tangannya atau mencongkel matanya. Memaafkan pemotongan tangan atau pencongkelan mata, hakekatnya adalah tindakan menyumbangkan diyat. Sedangkan penyumbangan diyat itu berarti menetapkan adanya pemilikan diyat, yang berarti pula menetapkan adanya pemilikan organ tubuh yang akan disumbangkan dengan diyatnya itu. Adanya hak milik orang tersebut terhadap organ-organ tubuhnya berarti telah memberinya hak untuk memanfaatkan organ-organ tersebut, yang berarti ada kemubahan menyumbangkan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan organ tersebut. Dan dalam hal ini Allah SWT telah membolehkan memberikan maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat. Allah SWT berfirman :

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat.” (QS. Al Baqarah : 178)

2. Syarat-Syarat Penyumbangan Organ Tubuh Bagi Donor Hidup 

Syarat di bolehkannya menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelang­sungan hidup pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)

Keharaman membunuh orang yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) ini mencakup membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri. Imam Muslim meriwayatkan dari Tsabit bin Adl Dlahaak RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “…dan siapa saja yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu (alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang terse­but dengan alat/sarana tersebut dalam neraka Jahannam.”

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.”

Demikian pula seorang laki-laki tidak dibolehkan menyumbangkan dua testis (zakar), meskipun hal ini tidak akan menyebabkan kematiannya, sebab Rasulullah SAW telah melarang pengebirian/pemotongan testis (al khisha’), yang akan menyebabkan kemandulan. Imam Bukahri meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata :

“Kami dahulu pernah berperang bersama Nabi SAW sementara pada kami tidak ada isteri-isteri. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian ?’ Maka beliau melarang kami untuk melakukannya.”

3. Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal :

Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan kejelasan hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum keadaan darurat. Mengenai hukum pemilikan tubuh seseorang yang telah meninggal, kami berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun. Sebab dengan sekedar meninggalnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki atau berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuhnya, ataupun isterinya. Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau mewasiatkan penyumbangan organ tubuhnya. Berdasarkan hal ini, maka seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya. Sedangkan mengenai kemubahan mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di luar kepemilikannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy Syari’ (Allah) telah mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan sebagian hartanya hingga sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin ahli warisnya. Adanya izin dari Asy Syari’ hanya khusus untuk masalah harta benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak mencakup pewasiatan tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya setelah kematiannya. Mengenai hak ahli waris, maka Allah SWT telah mewariskan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si mayit, karena mereka tidak memiliki tubuh si mayit, sebagaimana mereka juga tidak berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut. Padahal syarat sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah bahwa pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda tersebut. Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris, maka hak pemanfaatan tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli waris, bagaimanapun juga posisi atau status mereka. Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya. Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terhadap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup. Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda :

“Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu !”




read more “Hukum Transplantasi Organ Tubuh”

Wednesday, May 6, 2009

Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.

Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan diantara pendapat tersebut disebebakan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah : akad perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas kawin.

Menurut ulama Syafi’i yang dimaksud dengan perkawinann disini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.

Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut :
1. Calon mempelai laki-laki
2. Calon mempelai perempuan
3. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan 
4. Dua orang saksi
5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan Qabul yang dilakukan oleh suami

Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. Undang-Undang Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. Kompilasi Hukum Islam secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqih Safi’i dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun. 





read more “Rukun dan Syarat Perkawinan”

HUKUM MELAKSANAKAN PERKAWINAN

Islam menganjurkan perkawinan, akan tetapi bila dilihat dari kondisi dan keadaan orang yang akan melaksanakannya, maka hukumnya bias wajib, haram, sunnat, mubah dan makruh.
1. Wajib kawin
Seorang wajib hukumnya kawin, bila dia mempunyai keinginan yang kuat mempunyai kemampuan material, mental dan spritiual untuk melaksanakan kewajiban selama dalam perkawinan dan adanya kekhawatiran apabila ia tidak kawin akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.

2. Perkawinan yang Sunnat
Perkawinan hukumnya sunnat bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban tetapi bila ia tidak kawin tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina.
Alasan hukum berdasarkan ayat-ayat Al-qur’an dan Hadits-hadits Nabi Muhammad saw. yang menganjurkan perkawinan.
Kebanyakan ulama berpendapat hukum dasar perkawinan adalah “sunnat”.
Ulama mazhab syafi’i berpendapat bahwa hukum asal perkawinan adalah “mubah”.
Ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan wajib dilakukan orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak kawin.

3. Perkawinan yang haram.
Bagi orang yang belum berkeinginan dan tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul tanggung jawab dalam kelangsungan perkawinan, dan apabila dipaksakan kawin akan berakibat menyusahkan dan penderitaan bagi isterinya, maka hukumnya menjadi haram.
Nabi saw mengajarkan : “Jangan melakukan suatu perbuata yang berakibat menyusahkan diri sendiri & orang lain.”

4. Perkawinan Makruh
Perkawinan hukumnya makruh, bagi seseorang yang mampu dari segi materiil, cukup daya tahan mental a& agama, tetapi ada kekhawatiran tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberikan nafkah batin, meskipun tidak berakibat menyusahkan isterinya.
Imam Al-Gazali mengatakan bahwa Suatu perkainan bila dikhawatirkan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah & semangat kerja dalam bidang ilmiah maka hukumnya lebih makruh.

5. Perkawinan yang mubah
Bagi orang yang mampu dari segi materiil, dan fisik dan apabila ia tidak kawin tidak ada kekhawatiran berbuat zina maka nukumnya mubah.
Perkawinan dilakukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kesenangan bukan untuk tujuan membina keluarga serta keselamatan hidup beragama.
Catatan: Salah satu tujuan diciptakannya hukum Islam adalah untuk memelihara keturunan. Karenanya diciptakan Hukum Perkawinan.


Syarat-syarat sahnya perkawinan yaitu :
1. Mempelai perempuan halal dinikahi
2. dihadiri minimal dua orang saksi
3. ada wali perempuan yang melakukan akad.

Syarat tersebut dianut oleh beberapa Imam besar seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Ishak bin Rawaih, Hasan Basri, Ibnu Abi Laila, dan Ibnu Syubrumah.
Adapun perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi telah disebutkan dalam Al-qur’an S. An-Nisa’ ayat 22 – 24 yaitu sebagai berikut:
1. Ibu tiri (Janda dari ayah)
2. Ibu Kandung
3. Anak Perempuan
4. Saudara Perempuan 
5. Saudara perempuan ayah
6. Saudara perempuan ibu
7. Anak perempuan dari saudara laki-laki
8. Anak perempuan dari saudara perempuan 
9. Ibu susuan
10. Saudara perempuan sesusuan
11. Mertua (Ibu istri)
12. Anak tiri, bila ibunya sudah dicampuri
13. Menantu (isteri anak kandung)
14. Mengumpulkan 2 perempuan bersaudara sebagai isteri
15. Perempuan yang masih terikat dengan perkawinan

Perempuan yang haram untuk dinikahi tersebut diatas dapat dibagi dua macam yaitu :
1. Haram dinikahi untuk selamanya karena:
a. Hubungan nasab/darah
b. Hubungan sesusuan
c. Hubungan semenda
d. Sumpah li’an

Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan darah adalah :
- Ibu dan sterusnya keatas
- Anak perempuan dan seterusnya kebawah
- Saudara perempuan sekandung 
- Bibi
- Keponakan perempuan yaitu anak saudara laki-laki / perempuan dan seterusnya kebawah
Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan yaitu :
- Ibu susuan, ibu yang menyusui seorang anak dipandang sebagai ibu anak yang disusuinya
- Nenek susuan yaitu ibu dari ibu susuan
- Bibi susuan yaitu saudara perempuan dari ibu susuan atau suami ibu susuan dan seterusnya keatas
- Keponakan perempuan persusuan yaitu cucu-cucu dari ibu susuan, sebab mereka itu dipandang anak dari saudara-saudara sendiri
- Saudara perempuan sesusuan, baik seayah, seibu, atau seayah –seibu
Larangan nikah karena hubungan sesusuan ada qaidah yang berasal dari hadits Nabi saw riwayat Ahmad Bukhari dan Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Aisyah r.a yang mengatakan “diharamkan karena hubungan susuan, apa yang diharamkan karena hubungan nasab.”

Susuan yang dimaksudkan diatas adalah susuan yang mengenyangkan.
Beberapa pendapat tentang banyaknya /lamanya susuan antara lain :
1) Ulama mazhab Imam Hanafi dan Maliki : “ Tidak memperhatikan bilangan sedikit atau banyak, asalkan benar-benar kenyang, dapat menyebabkan haramnya dinikahi
2) Abu Ubaid, Abu Tsur, Daud Adh-Dhahiri dan Ibnu Mundzir : “Paling sedikit tiga kali kenyang”
3) Imam Syafi’i, Ibnu Hazm, Imam Ahmad, membatasi sekurang-kurangnya 5 kali kenyang.
Ditinjau dari segi dalilnya, pendapat ulama mazhab Hanafi dan Maliki lebih kuat dikalangan umat Islam Indonesia yang dianut/diikuti pendapat ketiga.

Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan semenda yaitu :
- Mertua yaitu ibu kandung isteri, nenek isteri dari garis ibu atau ayah dan seterusnya keatas. Haramnya tersebut tidak disyaratkan telah terjadi persetubuhan antara suami isteri. Dengan akad nikah yang telah dilaksanakan, meka akibat hukumnya “haram” nikah dengan mertua dan seterusnya keatas.
- Anak tiri, dengan syarat telah terjadi hubungan / persetubuhan dengan ibu anak tersebut. Apabila belum terjadi persetubuhan, tiba-tiba terjadi perceraian karena talak atau kematian meka dimungkinkan perkawinan antara laki-laki tersebut dengan anak tirinya.
- Menantu, yaitu isteri anak, isteri dari cucu (dari anak laki-laki/perempuan) dan seterusnya kebawah tanpa syarat setelah terjadi persetubuhan.
- Ibu tiri, yaitu janda ayah, tanpa syarat pernah terjadi persetubuhan antara suami-isteri. Dengan akd nikah antara ayah dan seorang perempuan maka berakibat haram nikah antara anak dengan ibu tiri.


Haram kawin setelah sumpah Li’an 
Apabila suami menuduh isterinya berbuat zina tanpa saksi yang cukup.
Suami yang menuduh isterinya berzina harus dapat menghadirkan empat orang saksi (Sayyid Sabiq, 1980: 126). Tuduhan tanpa disertai saksi yang cukup, ia harus bersumpah empat kali dan sumpah yang kelima kalinya ia mengatakan bahwa ia akan dilaknat Allah kalu tuduhannya tidak benar (dusta).

Isteri yang trtuduh dapat menyanggahnya dengan bersaksi kepada Allah bahwa tuduhan suaminya tidak benar. Ia bersumpah empat kali dengan mengatakan bahwa ia tidak melakukan zina dan yang kelima ia bersumpah bahwa bila ia dusta bersedia menerima laknat Allah SWT, bila tuduhan suaminya benar.

Ketentuan tersebut ditetepkan berdasarkan firman Allah SWT didalam S. An-Nur ayat 6-9.
Setelah suami isteri mengucapkan sumpah li’an, terjadilah perceraian antra mereka dan berakibat haram nikah antara mereka berdua untuk selamanya.


Macam-macam wali
1. Wali Mujbir
Wali Mujbir yaitu wali yang bisa / boleh memaksa anak gadisnya dibawah perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki tanpa izin yang bersangkutan.
Yang berhak menjadi wali Mujbir yaitu ayah dan kakek
Syarat-syarat yang boleh dikawinkan oleh wali mujbir yaitu :
a) laki-laki pilihan wali harus sekufu (seimbang) dengan gadis yang dikawinkan
b) antara wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan
c) antara gadis dan laki-laki calon suami tidak ada permusuhan 
d) calon suami harus sanggup membayar maskawin dengan tunai
e) calon suami pilihan wali harus sanggup memenuhi kewajibannya terhadap isteri lahir bathin.
2. Wali Ghairu Mujbir
Wali ghairu mujbir yaitu wali yang tidak boleh memaksa kepada gadis yang akan dikawinkan.


Sedangkan orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu : 
1. wali nasab yaitu wali yang ada hubungan darah dengan perempuan yang akan dinikahkan. Adapun urutan wali nasab adalah sebagai berikut
1) Ayah kandung
2) Kakek dari ayah
3) Saudara laki-laki seayah dan seibu (sekandung)
4) Saudara laki-laki seayah
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu dan seayah
6) Anak laki-laki dari saudara seayah
7) Paman (saudara laki-laki bapak) sekandung
8) Paman (saudara laki-laki bapak) sebapak
9) Anak laki-laki dari paman (dari bapak) sekandung
10) Anak laki-laki dari paman (dari bapak) sebapak
11) Hakim

Menurut Imam Syafi’i, urutan tersebut diatas adalah harus,yang artinya jika wali nomor satu tidak ada, maka wali nomor dua menjadi wali yang lebih dekat dan jika wali nomor dua tidak ada digantikan oleh wali nomor tiga. Demikian seterusnya kebawah.

2. wali sultan (hakim) adalah kepala Negara yang beragama islam. Di Indonesia dilimpahkan kepada Kepala Pengadilan Agamalalu ia dapat mengangkat orang lain menjadi hakim seperti Kepala KUA kecamatan untuk mengakadkan nikah perempuan yang berwali hakim.


Prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam
Ajaran Islam tentang perkawinan ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. memilih jodoh yang tepat
2. didahului dengan pinangan 
3. ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan
4. perkawinan didasarkan suka rela antara pihak yang bersangkutan
5. ada persaksian dalam akad nikah
6. tidak ditentukan waktunya
7. ada kewajiban membayar maskawin/mahar atas calon suami
8. ada kebebasan mengajukan syarat atau perjanjian
9. ada tanggung jawab bagi suami memimpin keluarga
10. ada kewajiban bergaul dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) dalam kehidupan berumah tangga.





read more “HUKUM MELAKSANAKAN PERKAWINAN”

Pengertian asas personalitas keislam

Berlakunya asas kebebasan di setiap peradilan didasarkan pada asas personalitas. pada dasarnya asas personalitas yang berlaku di peradilan mengharuskan kewenangan yang ada di setiap peradilan yang berlaku di Indonesia khususnya, sesungguhnya berlakunya asas personalitas pada umumnya berkaitan dengan persoalan segi-segi keperdataan, seperti pada persoalan hukum perkawinan di Indonesia atau hukum lainnya. peraturan antara dua atau lebih stelsel hukum pada suatu peristiwa hukum yang akan diperbuat apabila diakibatkan oleh perbedaan kewarganegaraan menimbulkan pertanyaan hukum manakah atau manakah yang menjadi hukum guna mengatur peristiwa hukum tersebut. pertanyaan tersebut tidak cukup dijawab secara sederhana tetapi lebih dahulu ditinjau dengan asas-asas hukum. asas hukum itu akan memberikan rincian operasional bagaimana menentukan hukum yang ada, diperlakukan diantara sekian banyak stelsel hukum yang terlihat mengikat masing-masaing pihak. dengan kata lain, gejala semacam itu menampakkan keberadaan pluralitas hukum pada suatu peristiwa hukum, salah satu asas hukum yang dapat memberikan jalan keluar untuk memilih hukum mana yang diberlakukan adalah asas personalitas keislaman. 

Asas personalitas yang berlaku di Peradilan Agama adalah asas personalitas keislaman, berlakunya asas personalitas keislaman ini untuk melayani penyelesaian perkara di bidang tertentu yakni perkawinan, kewarisan, wakaf, wasiat, dan sadakah,.
Untuk mengetahui proses pelaksanaan asas personalitas keislaman di Pengadilan Agama lebih lanjut, lebih dahulu kita mencoba untuk mengetahui pengertian asas personalitas keislaman itu sendiri, mengacu pada ketentuan Undang-undang Peradilan Agama No. 7 tahun 1989 bahwa asas personalitas keislaman adalah pola pengaturan kewengan Pengadilan Agama yang tidak bisa di tundukkan oleh lembaga lain diluar Pengadilan Agama. Kewenangan yang berlaku bagi orang yang berkompetensi pada perkaranya. menurut yahya harahap, asas personalitas keislaman adalah yang tunduk dan yang dapat di tundukkan kepada kekuasaan lingkungan peradilaln agama, hanya mereka yang mengacu menganut dan memeluk agama islam. penganut agama lain di luar islam atau yang “Non islam ” tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa untuk tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.
 
 Dengan demikian asas personalitas keislaman merupakan kekuasaan mutlak pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara tertentu dan khusus, yang melalui kekuasaan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu, yaitu golongan orang yang beragama islam. ketentuan tentang asas personalitas keislaman yaitu kewenangan mutlak Pengadilan Agama dalam menangani, memutuskan perkara orang-orang islam, telah tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) undang-undan No 7 th 1989 :
Pasal (2)
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi 
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini. 
Pasal (49) 
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan 
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 
a. Perkawinan; 
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; 
c. Wakaf dan shadaqah.
 
Dengan demikian asas personalitas keislaman merupakan kesatuan hubungan yang tidak terpisah dengan dasar hubungan hukum, meskipun demikian untuk menentukan asas ini yang berakit menjadi kewenangan mutlak dari pengadilan di lingkungan badan Peradilan Agama adalah : 
agam yang dianut oleh kedua belah pihak saat terjadinya hubungan hukum adalah agama islam hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum islam.





read more “Pengertian asas personalitas keislam”