Monday, December 14, 2009

PARADIGMA PENDIDIKAN

Setiap Paradigma pendidikan tidak bisa terlepas dari akar filosofisnya. Paradigma pendidikan manapun tetap tidak bisa lepas dari aliran filsafat yang menjadi induknya sebab pendidkan sebagai ilmu merupakan cabang dari filsafat dalam aplikasinya.
Pendidikan  sebagai disiplin ilmu tentunya memiliki kontruksi filosofis tersendiri sebagai bagian dari cabang-cabang filsafat pada umumnya. Dengan memahami akar filosofis masing-masing paradigma pendidikan itu kita bisa dengan mudah membaca karakter masing-masing. Minimal kita tahu aliran filsafat yang melatarbelakangi suatu paradigma pendidikan.
Dalam filsafat pendidikan terdapat beberapa aliran yang saling mengkonstruksi masing-masing paradigma pendidikan tersebut. Maksudnya setiap aliran berusaha menampilkan bentuk keberfihakan serta karakter masing-masing yang berbeda.
Berangkat dari aliran-aliran filsafat yang bermacam-macam itu kemudian membentuk paradigma yang berbeda-beda pula. Sederhananya pardigma yang dimaksud disini adalah sebagai salah satu perspektif filosofis dalam membaca persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pendidikan.
Dalam diskursus  filsafat pendidikan kontemporer terdapat jenis aliran dalam filssafat pendidikan. Filsafat pendidikan itu yakni meliputi aliran progresifisme, esensialisme, perenialisme, eksistensialisme, dan rekonstruksialisme, aliran filsafat  tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda.
Progresifisme bercirikan atas penolakan segala bentuk otoritarianisme dan abslutisme. Disamping itu progrsfisme juga menaruh kepercayaan penh terhadap kuasa manusia dalam menentukan hidupnya. Faktor kebebasan penuh yang dimiliki oleh manusia menjadi ciri khas manusia progresif.
Aliran filsafat yang kedua adalah aliran filsfat esensialisme, yakni pandangan filsafat yang bercirikan humanisme, dan merupakan perpaduan antara  filsafat idealisme dan realisme  hampr sepadam dengan progresifisme.
Yang membedakan antara progresifisme dan eensialisme adalah pada orientasi pendidikan masing-masing. Filsafat pendidikan  progresifisme berhaluan masa depan sehingga dengan pendidikan dipandang debagai upaya merekontruksi secara terus menerus pengetahuan bagi manusia menuju kesempurnaan. Progresifisme berhaluan  anti kemapanan sehingga bertentangan dengan esensialisme, sementara aliran esensialisme lebih berorientasi  untuk mempertahankan nilai-nilai yang sudah mapan.
 Aliran filsafat  pendidikan esensialisme merupakan gelombang counter atas pola piker ilmiah dan materialistik abad modern sehingga sangat mengabaikan potensi-ptensi  kemanusiaan (humanisme) karena mdenitas membuahkan kehampaan spiiritualitas bagi manusia  maka sangnt bertentangan dengan fitrah manusia pada umumnya-. Oleh karena itu pandangan filsafat esensialisme berusaha mengembalikan manusia sesuai fitrahnya.
Tujuan utama aliran filsafat ini  esensialisme adalah  menggapai kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Alran ni bernuansa theistik karena menyempatkan ruang bagi dunia lain di luar batas dunia lain.aliran filsafat perenialisme bercirikan atas norma-norma kekekalan sesuai dengan namanya perennial yang artinya abadi atau kekal.
Aliran ini merupakn gelombang counter atas modernitas di barat yang cenderung keringdari nuansa religiusitas.
Aliran filsafat pendidikan eksistensialisme  mencuat kepermukaan pasca perang ke dua. Pasca perang dunia ke dua peradaban nmanusia hamper mengalami kepunahan banyak kemudian pemikir duniamulai memikirkan nsib dunia danperadabannya. Lahirlah aliran pemikiran eksisitensialis dalam bidang pendidikan.
Tujuan  utama  aliran filsafat pendidikan eksisitensialisme adalah mengembalikan sepenuhnya peradaban manusia  yang hamper mengalami kepunahan. Pasca perang ke dua peradaban manusia banyak yang hansur akibat keserakahan kelompokm manusia. Filsafat eksistensialissme  mencoba untuk menjawab fenomena kepunahan manusia tersebut.
Filsafat pendidikan  selanjutnya adalah filsafat prendidikan rekonstruksionalisme, juga merupakan juga merupakan gelombanmg counter atas krisis kemanusiaan di era mdern. Senafas dengan progresfisme  dan perenialisme, filsafat rekontruksionalisme berusaha membangun peradaban secara dinamis tanpa terhenti oleh kemapanan, disamping mengembalikan arti kebebasan manusia seduai dengan fitrahnya.
Aliran filsafat  pendidikan rekonstuksionalisme menjadi kekuatan baru dalam usaha membongkar tatanan lama yang penuh dengan penuh dengan permasalahan menjadi tatanan baru demi kebaikan manusia. Para penyokong  rekontruksionakisme  yakin akan tatanan dunia baru  dengan peradaban yang baru pula.
Dari seluruh aliran filsafat penddikan diatas melahirkan ragam paradigma. Setiap paradigma akan menujukan karakter akan menunjukan karakter sesuai dengan karakter sesuai dengankarakter aliran-aliran yang dianutnya. Seperti halnya peradigma pendidikan konservatif, liberal  dan kritis juga menganut bebrapa aliran diatas.
Paradigma-paradigma pendidikan yang berkembang selama ini bisa dikategorikan dalam tiga kelompok  besar, yaitu pardigma pendidikan konservatif, liberal, dan kritis. Kesemuanya itu memiliki memiliki akar filosofis  yang berbeda-beda.
Paradigma pendidikan konservatif misalnya merupakan anak cabang dari filsafat skolastik di barat ynng perenialis sekalgus esensialis.  Ketika peradaaban barat didomiasi oleh otoritas gerjapada saat itu manusia tidak memiliki kuasa untuk merubah segala macam  tatann social yang ada. Bahkan otritas menentukan nasib dirinya  sediri tak dimilikinya. Otoritas sepenuhnya menjadi  milik gerja, sehingga bapak-bapak pendeta seolah mewakili kehendak dan perwujudan tuhan di bumi. Bahkan bisa dikatakan terlalu sehingga sangat fatlistik.
Filsafat skolastik yang bernuansa fatalistik telah menempatkan objek manusia sebagai objek fasif. Kehadiran manusia di dunia sebenarnya hanya sekedar menjalankan sabda Tuhan yang telah termaktub dalam suratan takdir. Inilah karakter perenialistik yang terlalu berlebihan, sehingga dia hanya menjadi pelaksana pasif dari ketentuan-ketentuan Tuhan yang diyakinya benar. Manusia tinggal menjalankan Sabda Tuhan itu tanpa banyak melakukan banyak protes, kritik atau harus mengingkarinya.
Dengan membaca karakter paradigma pendidikan  konservatif, amat kentara di dalamnya yang bernuansa perenialistis dan esensialis. Akibatnya pendidikan konsevatif hanya sebatas perwujudan manusia dalam menjalani hidupnya. Menusia cenderung bepikiran aif atau bahka magis karena keyakinan untuk mempertahankan norma-norma yang telah mapan sangat kuat. Bahkan pendidikan kondervatf yang berorientasi keakhiratan itu telah menenggelamkan  eksistensi manusia sebagai pelakuaktif kehidupannya. Jelaslah jika paradigma pendidikan konservatif sangt naïf, bahkan telah terperosok ke dalam magis.
Pardigma pendidikan liberal yang bermuara pada  semangat modernisasi di barat lebih mengutamakan kebebasan indivdu. Jika kita membaca secara cerdas fenomena modernisasi  sebenarnya merupakan suatu gerakan protes, atau bisa dikatakan sebagai counter atas hegemoni otoritas gereja . paradigma ini termasuk beraliran progresif  dan eksistensialis. Modernisasi merupakan jawaban atas jawaban atas skolastik yang boleh dikata telah meniadakan potensi-potensi  kemnusiaan.
Pasca filsof Thomas Aquinas (1225-1274 M) peradaban mulai tercerahkan sewaktu rene descartus mendeklarasikan filsafat Rasionalisme-nya.  Kehasiran Descartes bisa dikatakan sebagai penyelamat peradaban barat yang pada waktu itu telah tenggelam dalam nuansa taklidisme.
Descartes membuka satu pencerahan bagi peradaban barat  untuk mengakui arti kebebebasan individual. Penjegalan kebebasan  individu di masa skolastik,  telah menenggelamkan eksistensi manusia. Maka era kebebasan  dengan paham keilmuan baru  rasionalisme merupakan pertanda baaik bagi keberaaan (eksistensia) manusia. sebab manusia dengan seluruh potensi yang dimiliknya  sangat diakui dan di hargai . karakter rasionalis dan pengakuan terhadap hak-hak individual  menjadi karakter utama  filsafat progresifisme  dan eksistensialisme.
Membaca gelombang modernisasi di barat kita bissa menemukan beberapa karakter utaanya  karakter modernitas sebagai produk filasafat rasionalisme diantaranya pertama mengakui sepenuhnya arti kebebasan manusia dengn seluruh potensi yang dimiikinya konskwensi dari modernisasi yang sepenuhnya ersifat rasional telah mewajibkan yang menjadi karakter mdernisasi itu kemudian mempertinggi semangat egoisme manusia. Kedua  filsafat rasionalisme yang bermula dari metode cogito Descartes bercirikan akal (ratio. Maksudnya adalah semua pengetahuan dibangun atas asumsi rasional, setiap pengetahuan bukan hanya berdasarkan asumsi-asumsi filosofis juga bukan hanya sekedar pengalaman epiris akan tetapi merupaka manifestasi atas ide-ide dalam realitas empirisnya.
Oleh karena itu segala macam dogma yang menggumpal sepeninggalan abad Skolasttik semakin terkikis habis bangsa barat kemudian tampil dengn pengetahuan rasional mereka. Kontruksi pengetahuan barat bernbalik seratus persen dri dogmatisme menu rasionalisme empiris. Barat kemudian semakin eksis dengan paradigma fositifisme mereka..ketiga modernisasi disamping bercirikan kebebasan (individualisme) dan rasional juga bernuansa empiris maksudnya, pengetahuan rasional tidak hanya dilahirkan atas asumsi-asumsi rasional belaka akan tetapi harus teruji secara empiris. Paradigma lmu pengetahuan abad modern kemudian bernuansa positifistik.
Manusia di abad modern memiliki karakter rasional, bebas, dan berhaluan positifistik. Dari sinilah kemudian paradigma pendidikan liberal itu lahir. Namun positifisik itu kemudian banyak menuai kritik.
Pardigma positifistik (empirisme) memiliki karakter khusus seperti empiris (inderawi), universalisme dan geeralisasi melalui kmpulan kumpulan teori.akan tetapi madzhab positifisme telah terbantahkan melalui gagasan-gagasan dari jurgen habermas seorang tokoh utama madhab frankfruit.
Kritik Habermas terhadap positifisme meliputi pertama; pengetahuan instrumental (instrumental knowledge) yang bertujuan untuk mengontrol, memprediksi memanifulasi serta eksploitasi terhadap objek  kedua; tafsir ilmu pengetauan (hermeneutic knowledge) yang betujuan hanya untuk memahami objek saja. Dan ketiga ; pengetahuan kritis ( critical knowledge) atau emansifatory knowledge yang menempatkan pengetahuan sebagai katalis untuk membeaskan manusia.
Dengan memahami karakter pendidikan liberal itu, kita bisa memilah-milahnya dalam perspektif aliran-aliran filsafatnya. Paradigma pendidikan liberal yang rasional jelas bernuansa progregsif eksistenislistik dan esensialistik. Meskipun dalam berbagai aspek sedikit ke arah perenialistik, namun tidak seberapa, disinilah kemudian melahirkan problem kemanusian baru.
Sementara paradigma pendidikan  kritis merupakan counter atas arus modernitas yang dipandang telah menghilangkan nilai-nilai humanitas, manusia-manusia modern justru semakin terasing dengan ilmu mereka (Teralienasi), dan juga terekploritasi dengan produk-produk modernitas.
Seharuusnya manusia berfungsi sebagai subjek aktif yang menjalankan modernitas tadi tetapi realitasnya justru mengatakan lain. Justru manusia harus menadi objek dari kenajuan teknologi  karya akal mereka sendiri.modernitas kemudian menjadi sebuah pardoks bagi kebebasan manusia. Pardigma  pendidikan kritis bernuansa progresif, eksistensialis dan sekaligus rekonstruktif. Artinya paradigma krtis merupakan counter  pemikiran Skolastik  yang magis, juga sekaligus counter modernitas yang de-humanistik.
Parrdigma pendidikan liberal ternyata belum mampu  mejawab problem kemanusiaan  abad mutakhir.  Meskipun berasaskan rasionalitas sebagai bagian dari potensi-potensi keanusiaan paradigma yang satu ini  telah terhambat oleh modernitas yang cenderung mengeksploitasi dan mempersempit kebebasan manusia kondisi seperti itulah yang kemudian mewajibkan lahirnya paradigma baru dalam pendidikan.
Kehadiran paradigma pendidikan kritis bermula dari gelombang pemikiran intelektual postmodernis di Jerman. Metode dekontruksi menjadi piranti paling efektif untuk mendobrak kemapanan-kemapanan pengetahuan, sehingga banyak persoalan yang tadinya telah baku menjadi berantakan. Pemikiran dekontruksi memag mencoba kritis terhadap pengetahuan yang mapan .
Namun jika kita menganalisa lebih dalam lagi, prototype gelombang postmo itu sebenarnya sudah dimulai dari kehidupan seorang filsof eksisitensialis, Nietzsche. Pemikiran-pemikirannya ang dekonstruktif telah banyak membongkar kemapanan-kemapanan peradaban, sampai moralitas sekalipun.
Dalam konteks pendidikan, paradigma kritis telah diusung oleh sosok brilian dari barazil, dialah Paulo Praire sosok fenomenal yang pemikirannya sampai saat ini mejadi referensi bagi praktisi pendidikan maupun pengamat social kritis.
Pulo Praire yang tlah menggagas pendidian kritis (radikal) banyak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh pendahulunya. Nietzsche, Karl Marx,Sartere,Maslow, adalah sebagian kecil dari tokoh –tokoh yang pemikiran mereka banyak mempengaruhi tokoh Praire. Oleh karena itu karakter dari pendidikan kritis sering bermuka banyak pendidikan kritis “dekonstruktif”, “kiri” (marxis), “humanis”(Maslowian), “Progresif” dan sebagainya.
Uraian singkat diatas mungkin sedikit memberikan gambaran seputar latar belakang seputar filodofis masimg-masing paradigma pendidikan. Namun sebelum membahas tiga paradigma yang besar yaitu antara paradigma pendidikann,konservatif, liberal, dan kritis, maka baiknya kita mempertanyakan terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan paradigma itu?
Secara sederhana, paradigma bisa di identikan dengan teori, konsep atau kumpulan pemikiran yang menjadi acuan dalam usaha menelaah dan mengkaji serta membandingkan suatu objek pembahasan. Parasigma itu sendiri juga sering di identikan dengan perspektif, berisi kumpulan pengertian atau teori yang mengacu pad a kerangka filosofis tertentu.
Dalam tradisi keilmuan kita,  paradigma itu seendiri  nantinya menjadi sebuah pisau analisis atau mata baca dalam  suatu pembahasan. Karena paradigma itu bermacam-macam, maka kesimpulan atau pemahamannya pun berbeda beda. Paradigma pendidian konservatif jelas akan berbeda dengan paradigma pendidiakn liberal dalam memahami persoalan hakekat manusia. Demikian  juga dengan paradigma epndidiakn kritis  akan berbeda Pula dengan kedua paradigma tersebut dalam memandang hakekat manusia.
Kehadiran paradigma tesebut mnejadi tawaran  bagi kita semua untuk menyikai realitas pendidikan saat ini apakah kita akan menerima aparadigma konsefatif dengan segala knsekwensinya atau sebaliknya kita akan sepakat dengan paradigma liberal, atu dengan paradigma pendidikan kritis  sebagai alteantif untuk menjawab  kejumudan pendidikan kita.
 
A. Paradigma  Pendidikan Konservatif.
Dalam konteks penddikan Islam  paradigma konservatif mengenal dualisme  terutama sekali berkaitan dengan  pembelajaran (kurikulum) yakni anara kurikulum pendidikaan Islam dan pendidikan umum. Disini kita akan membahas mengenai pemikran al- Gazali yang pernah menggagas  mengenai  dualisme ilmu pengetahuan itu, dengan dualisme tersebut menyebabkan umat Islam cenderung Fatalistik. Kalau meminjam  istilah Teologi Islam aliran yang berkembang  di kalangan umat Islam adalah aliran teologi Jabariyah. Paham teologis yang  satu ini beraliran perenialis sekaligus esensialis. Sama artinya jika pendidikan Islam bernuansa tradisional.
 
      Hakikat Manusia
Pandangan Pendidikan Konservatif Tentang tentang hakikat manusia  menurut filsafat pandidikan konsevatif, mausia hanya menduduki  posisi sebagai objek pasif. Manusia dipandang sebagai  objek dari kebijakan Tuhan  sehingga dia tidak memiliki daya upaya  untuk merubah nasib hidupnya. Apa yang telah dirasakan apa yang telah dijalani, dan apa  yang menjadi miliknya  maka itulah yag terbaik bagi mereka, inilah karakter aliran filsfat perenialis itu.
Manusia konservatif tidak mampu membaca relasi-relasi  social yang mempengaruhi  nasib hidupnya , baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dia tidak bisa membantah  kondisi social  atau nasibnya  disebabkan keyakinan yang fatalistic. Dalam diri manusia  konservatif meyakini bahwa nasib, perbuatan baik maupun buruk, adalah ketetapan (takdir) dari Tuhan.  Oleh karena itu manusia konservatif  dikategorikan pada type berkesadaran magis.
 Paradigma koservatif dalam pandangan Islam mengenal hakikat manusia sebagai objek statis  tanpa kebebasan berekspresi, berkreasi dan berdialektika  dengan beragam persoalan hidupnya. Orientasi pendidikan konservatif cenderung  untuk melestarikan norma-norma kemapanan, hal inipun senafas dengan aliran esnsialisme.
Apliaksi nyata konsep manusia sebagai objek statis bisa dilihat dalam praktek-praktek pembelajaran  yang tertuang dalam metode-metode seperti  menghafal (muhafadzah)membaca (qiraah), dan  mennerjemah (tarjamah) menengar (istima’)  dan sebagainya. Manusia diposisikan sebagai  objek statis dan wajib taat kepada guru. Dalam istilahnya  kaum sntri dikenal semboyan smi’na waato’na. ketika kiayi atau ustadz mengajar atau memberikan intruksi murid-murid wajib mendengarkan ataumentaatinya.
 
Hakikat  Pendidikan.
Dalam pandangan filsafat konsevatif  potensi-potensi konflik (kontardiksi) dalam relitas social selalu di hindari. Pendidikan  konservatif selalu mengutamakan harmoni hubungan antar relasi-relsi, sehingga hidup ini selalu dijalani engan sabar dan tanpa neko-neko atau bermacam-macam,  psarah dan tunduk pada norma-norma  mapan itupun menjadi cirri aliran pereniaklis dan esensialis
Pendidikan bagi kaum konservatif dikonotasikan sebagai proses menerima, bersabar atau menanggung nasib  dengan penuh keyakinan bahwa mereka akin akan mendapatkan kebahagiaan kelak di akhiat. Paradigma pendidikan konservatif anti perubahan dan tidak konstruktif dan kurang progresif. Tidak ada prinsip persaingan hidup, apalagi harus meekayasa nasib  sesuai dengan kehendaknya sendiri  kondisi seperti ini terlihat jelas pasca kemenangan Al-Ghazali  yang berpolemik  dengan para filsof sebelumnya.Al-Ghazali telah membius kesadaran umat Islam menjadi magis atau bernuansa perenialis atau esensialis.
Untuk merubah paradigma pendidika konservatif maka lahirlah paradigma pendidikan liberal.
 
      B. Paradigma Pendidikan Liberal
Berbeda dengan paradigma pendidikan konservatif, Paradigma pendidikan liberal bermuara pada  konsep modernisasi di Barat. Salah satu faktor modernitas adalah pengakuan sepenuhnya terhadap kebebasan individu. Di samping kebebasan individu, modernisasi juga mengedepankan kebebasan kuasa akal manusia (rasionalis). Paradigma pendidikan liberal berkiblat pada aliran filsafat eksistensialis dan progresifisme. Namun, sekali lagi paradigma penidikan  liberal itu tetap berorientasi  untuk melanggengkan norma-norma yang telah mapan, akibatnya pendidikan liberal tidak konstruktif atau dinamis.
Paradigma pendidikan liberal tidak bisa lepas dari dasar filosofnya , yakni disebut aliran filsafat positivisme, sementara positivisme itu sendiri merupakan paradigma keilmuan yang berakar dari filsafat rasionalisme.
Adapun akar permasalahan yang mendasari adanya paradigma ini adalah pandangan yang mengedepankan aspek potensi, perlindungan hak-hak dan kebebasan manusia  (freedom, hurriyyah). Paham individualistic sangat kuat mempengaruhi paradigma pendidiakn liberal.
Semangat individualisme amat kentara dalam konteks kehidupan masyarakat urban  seperti dalam rumah tangga tidak mengenal dengan tetangga lainnya. Fenomena seperti ini sudah lazim dalam realitas masyarakat perkotaan. Namun inilah sebenarnya yang menjadi bumerang bagi modernitas itu sendiri sebab semangat modernisme di awal pertumbuhannya sudah jelas  untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu determinisme. Namun anehnya  modernitas kembali membelenggu kebebasan manusia .
Dalam konteks potensi, akal manusialah yang di pandang paling urgen dalam paradigma pendidikan liberal. Manusia dipandang sebagai binatang yang rasional (animal rasional) merupakan kelainan tersendiri bagi ragam eksistensi yang ada. Manusia tidak bisa disamakan dengan eksistensi lainnya yang tidak berakal.
Disamping pendewaan akal manusia, paradigma pendidikan liberal juga mengakui atas hak-hak individu manusia.  Maksudnya setiap manusia memiliki kebebasan memilih  dan bertindak sesuai dengan hatinya, orang lain tidak punya hak atas tindakan dan pilihannya. Oleh karena itu paradigma pendidikan liberal  bernuansa kebebasan manusia secara individual.
Paradigma pendidikan liberal juga mengalami beberapa anomali yang memerlukan penambahan-penambahan. Kebebasan manusia menurut paradigma ini bermuara pada prinsip Individualisme sebagai konsekwensi  dari arus modernisasi barat yang cenderung kering dari kehidupan religiusitas (Muarif,  2005 :46). Dalam paradigma ini cenderung terjadi pendikotomian antara pendidikan Islam dan pendidikan umum, di karenakan agama tidak dijadikan suatu bagian dari ilmu pengetahuan.
Untuk mencermati perkembangan pendidikan Islam yang ada maka diperlukan paradigma yang dapat mendukung proses pendidikan di era globalisasi yang sarat dengan tuntutan modernisasi  dan dapat membendung ekses negative dari mdernisasi itu.




0 comments:

Post a Comment