Wednesday, May 6, 2009

HUKUM MELAKSANAKAN PERKAWINAN

Islam menganjurkan perkawinan, akan tetapi bila dilihat dari kondisi dan keadaan orang yang akan melaksanakannya, maka hukumnya bias wajib, haram, sunnat, mubah dan makruh.
1. Wajib kawin
Seorang wajib hukumnya kawin, bila dia mempunyai keinginan yang kuat mempunyai kemampuan material, mental dan spritiual untuk melaksanakan kewajiban selama dalam perkawinan dan adanya kekhawatiran apabila ia tidak kawin akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.

2. Perkawinan yang Sunnat
Perkawinan hukumnya sunnat bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban tetapi bila ia tidak kawin tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina.
Alasan hukum berdasarkan ayat-ayat Al-qur’an dan Hadits-hadits Nabi Muhammad saw. yang menganjurkan perkawinan.
Kebanyakan ulama berpendapat hukum dasar perkawinan adalah “sunnat”.
Ulama mazhab syafi’i berpendapat bahwa hukum asal perkawinan adalah “mubah”.
Ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan wajib dilakukan orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak kawin.

3. Perkawinan yang haram.
Bagi orang yang belum berkeinginan dan tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul tanggung jawab dalam kelangsungan perkawinan, dan apabila dipaksakan kawin akan berakibat menyusahkan dan penderitaan bagi isterinya, maka hukumnya menjadi haram.
Nabi saw mengajarkan : “Jangan melakukan suatu perbuata yang berakibat menyusahkan diri sendiri & orang lain.”

4. Perkawinan Makruh
Perkawinan hukumnya makruh, bagi seseorang yang mampu dari segi materiil, cukup daya tahan mental a& agama, tetapi ada kekhawatiran tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberikan nafkah batin, meskipun tidak berakibat menyusahkan isterinya.
Imam Al-Gazali mengatakan bahwa Suatu perkainan bila dikhawatirkan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah & semangat kerja dalam bidang ilmiah maka hukumnya lebih makruh.

5. Perkawinan yang mubah
Bagi orang yang mampu dari segi materiil, dan fisik dan apabila ia tidak kawin tidak ada kekhawatiran berbuat zina maka nukumnya mubah.
Perkawinan dilakukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kesenangan bukan untuk tujuan membina keluarga serta keselamatan hidup beragama.
Catatan: Salah satu tujuan diciptakannya hukum Islam adalah untuk memelihara keturunan. Karenanya diciptakan Hukum Perkawinan.


Syarat-syarat sahnya perkawinan yaitu :
1. Mempelai perempuan halal dinikahi
2. dihadiri minimal dua orang saksi
3. ada wali perempuan yang melakukan akad.

Syarat tersebut dianut oleh beberapa Imam besar seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Ishak bin Rawaih, Hasan Basri, Ibnu Abi Laila, dan Ibnu Syubrumah.
Adapun perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi telah disebutkan dalam Al-qur’an S. An-Nisa’ ayat 22 – 24 yaitu sebagai berikut:
1. Ibu tiri (Janda dari ayah)
2. Ibu Kandung
3. Anak Perempuan
4. Saudara Perempuan 
5. Saudara perempuan ayah
6. Saudara perempuan ibu
7. Anak perempuan dari saudara laki-laki
8. Anak perempuan dari saudara perempuan 
9. Ibu susuan
10. Saudara perempuan sesusuan
11. Mertua (Ibu istri)
12. Anak tiri, bila ibunya sudah dicampuri
13. Menantu (isteri anak kandung)
14. Mengumpulkan 2 perempuan bersaudara sebagai isteri
15. Perempuan yang masih terikat dengan perkawinan

Perempuan yang haram untuk dinikahi tersebut diatas dapat dibagi dua macam yaitu :
1. Haram dinikahi untuk selamanya karena:
a. Hubungan nasab/darah
b. Hubungan sesusuan
c. Hubungan semenda
d. Sumpah li’an

Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan darah adalah :
- Ibu dan sterusnya keatas
- Anak perempuan dan seterusnya kebawah
- Saudara perempuan sekandung 
- Bibi
- Keponakan perempuan yaitu anak saudara laki-laki / perempuan dan seterusnya kebawah
Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan yaitu :
- Ibu susuan, ibu yang menyusui seorang anak dipandang sebagai ibu anak yang disusuinya
- Nenek susuan yaitu ibu dari ibu susuan
- Bibi susuan yaitu saudara perempuan dari ibu susuan atau suami ibu susuan dan seterusnya keatas
- Keponakan perempuan persusuan yaitu cucu-cucu dari ibu susuan, sebab mereka itu dipandang anak dari saudara-saudara sendiri
- Saudara perempuan sesusuan, baik seayah, seibu, atau seayah –seibu
Larangan nikah karena hubungan sesusuan ada qaidah yang berasal dari hadits Nabi saw riwayat Ahmad Bukhari dan Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Aisyah r.a yang mengatakan “diharamkan karena hubungan susuan, apa yang diharamkan karena hubungan nasab.”

Susuan yang dimaksudkan diatas adalah susuan yang mengenyangkan.
Beberapa pendapat tentang banyaknya /lamanya susuan antara lain :
1) Ulama mazhab Imam Hanafi dan Maliki : “ Tidak memperhatikan bilangan sedikit atau banyak, asalkan benar-benar kenyang, dapat menyebabkan haramnya dinikahi
2) Abu Ubaid, Abu Tsur, Daud Adh-Dhahiri dan Ibnu Mundzir : “Paling sedikit tiga kali kenyang”
3) Imam Syafi’i, Ibnu Hazm, Imam Ahmad, membatasi sekurang-kurangnya 5 kali kenyang.
Ditinjau dari segi dalilnya, pendapat ulama mazhab Hanafi dan Maliki lebih kuat dikalangan umat Islam Indonesia yang dianut/diikuti pendapat ketiga.

Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan semenda yaitu :
- Mertua yaitu ibu kandung isteri, nenek isteri dari garis ibu atau ayah dan seterusnya keatas. Haramnya tersebut tidak disyaratkan telah terjadi persetubuhan antara suami isteri. Dengan akad nikah yang telah dilaksanakan, meka akibat hukumnya “haram” nikah dengan mertua dan seterusnya keatas.
- Anak tiri, dengan syarat telah terjadi hubungan / persetubuhan dengan ibu anak tersebut. Apabila belum terjadi persetubuhan, tiba-tiba terjadi perceraian karena talak atau kematian meka dimungkinkan perkawinan antara laki-laki tersebut dengan anak tirinya.
- Menantu, yaitu isteri anak, isteri dari cucu (dari anak laki-laki/perempuan) dan seterusnya kebawah tanpa syarat setelah terjadi persetubuhan.
- Ibu tiri, yaitu janda ayah, tanpa syarat pernah terjadi persetubuhan antara suami-isteri. Dengan akd nikah antara ayah dan seorang perempuan maka berakibat haram nikah antara anak dengan ibu tiri.


Haram kawin setelah sumpah Li’an 
Apabila suami menuduh isterinya berbuat zina tanpa saksi yang cukup.
Suami yang menuduh isterinya berzina harus dapat menghadirkan empat orang saksi (Sayyid Sabiq, 1980: 126). Tuduhan tanpa disertai saksi yang cukup, ia harus bersumpah empat kali dan sumpah yang kelima kalinya ia mengatakan bahwa ia akan dilaknat Allah kalu tuduhannya tidak benar (dusta).

Isteri yang trtuduh dapat menyanggahnya dengan bersaksi kepada Allah bahwa tuduhan suaminya tidak benar. Ia bersumpah empat kali dengan mengatakan bahwa ia tidak melakukan zina dan yang kelima ia bersumpah bahwa bila ia dusta bersedia menerima laknat Allah SWT, bila tuduhan suaminya benar.

Ketentuan tersebut ditetepkan berdasarkan firman Allah SWT didalam S. An-Nur ayat 6-9.
Setelah suami isteri mengucapkan sumpah li’an, terjadilah perceraian antra mereka dan berakibat haram nikah antara mereka berdua untuk selamanya.


Macam-macam wali
1. Wali Mujbir
Wali Mujbir yaitu wali yang bisa / boleh memaksa anak gadisnya dibawah perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki tanpa izin yang bersangkutan.
Yang berhak menjadi wali Mujbir yaitu ayah dan kakek
Syarat-syarat yang boleh dikawinkan oleh wali mujbir yaitu :
a) laki-laki pilihan wali harus sekufu (seimbang) dengan gadis yang dikawinkan
b) antara wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan
c) antara gadis dan laki-laki calon suami tidak ada permusuhan 
d) calon suami harus sanggup membayar maskawin dengan tunai
e) calon suami pilihan wali harus sanggup memenuhi kewajibannya terhadap isteri lahir bathin.
2. Wali Ghairu Mujbir
Wali ghairu mujbir yaitu wali yang tidak boleh memaksa kepada gadis yang akan dikawinkan.


Sedangkan orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu : 
1. wali nasab yaitu wali yang ada hubungan darah dengan perempuan yang akan dinikahkan. Adapun urutan wali nasab adalah sebagai berikut
1) Ayah kandung
2) Kakek dari ayah
3) Saudara laki-laki seayah dan seibu (sekandung)
4) Saudara laki-laki seayah
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu dan seayah
6) Anak laki-laki dari saudara seayah
7) Paman (saudara laki-laki bapak) sekandung
8) Paman (saudara laki-laki bapak) sebapak
9) Anak laki-laki dari paman (dari bapak) sekandung
10) Anak laki-laki dari paman (dari bapak) sebapak
11) Hakim

Menurut Imam Syafi’i, urutan tersebut diatas adalah harus,yang artinya jika wali nomor satu tidak ada, maka wali nomor dua menjadi wali yang lebih dekat dan jika wali nomor dua tidak ada digantikan oleh wali nomor tiga. Demikian seterusnya kebawah.

2. wali sultan (hakim) adalah kepala Negara yang beragama islam. Di Indonesia dilimpahkan kepada Kepala Pengadilan Agamalalu ia dapat mengangkat orang lain menjadi hakim seperti Kepala KUA kecamatan untuk mengakadkan nikah perempuan yang berwali hakim.


Prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam
Ajaran Islam tentang perkawinan ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. memilih jodoh yang tepat
2. didahului dengan pinangan 
3. ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan
4. perkawinan didasarkan suka rela antara pihak yang bersangkutan
5. ada persaksian dalam akad nikah
6. tidak ditentukan waktunya
7. ada kewajiban membayar maskawin/mahar atas calon suami
8. ada kebebasan mengajukan syarat atau perjanjian
9. ada tanggung jawab bagi suami memimpin keluarga
10. ada kewajiban bergaul dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) dalam kehidupan berumah tangga.





0 comments:

Post a Comment