Sunday, December 14, 2008

MEMAKNAI KEBERAGAMAAN MUSLIM INDONESIA


Islam merupakan agama samawi yang diwahyukan oleh Allah sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada umat manusia. Prinsip-prinsipnya dititahkan dalam ajaran Al-qur’an dengan melewati historisitas sosio-kultural yang panjang. Oleh karena itu, muatan yang tersaji di dalamnya bercorak elegan dan fleksibel. Elastisitas kandungan itulah yang mempresentasikan Islam sebagai agama dinamis serta selalu berdialektika dengan kondisi setempat. Bahkan, sebagian ulama mengajukan konsep naskh ketika ada dua ayat yang dianggap bertentangan. Dalam hal ini, dipersepsikan bahwa ayat yang pertama sudah selesai masa berlakunya sehingga perlu diganti dengan ayat kedua secara fungsional. Pemahaman seperti ini diderivasi dari pembacaan konteks yang mengitari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian, Al-qur’an sebagai dasar agama Islam bisa didialogkan dengan perubahan dan perkembangan zaman.

Senada dengan persoalan di depan, Imam Syafi’i mengemukakan dua pendapat yang berbeda diametral untuk satu masalah dengan acuan konteks. Beliu menyuguhkan qaul qadim di Mesir dan qaul jadid di Baghdad. Hal itu dimaksudkan untuk menformulasikan konsepsi kebijakan kontekstual bagi komunitas yang mendiami suatu tempat. Dengan konsep itu, tampak bahwa beliau ingin menyampaikan pesan elastisitas ajaran Islam, meskipun harus terjadi dekonstruksi terhadap qaul qadim oleh qaul jadidnya.

Fenomena di muka mengindikasikan bahwa Islam berwajah ramah lingkungan sesuai dengan kearifan local yang berkembang, sejauh tidak terjadi kontradiksi dengan prinsip dasarnya. Dari pemahaman ini, bisa disimpulkan bahwa Islam tidak berwajah fundamental seperti yang diadagiumkan oleh beberapa golongan, tetapi pemaknaannya tetap didasarkan pada “kewajaran” kitab suci Al-qur’an dengan pertimbangan konteks yang melingkupinya. Kongretnya, wajah Islam di Timur Tengah bisa berbeda dengan performa yang ada di Indonesia dan tempat-tempat yang lain selama substansinya tidak tereduksi.



Kepentingan bersama sebagai ideology bangsa

Pluralitas etnis dan agama dengan perbedaan kecenderungannya menjadi factor yang berpengaruh terhadap pembangunan visi dan misi. Diversifikasi ini menuntut adanya sebuah konsep ideologis yang representative dan akomodatif bagi kepentingan bersama. Di atas asas inilah, para generasi tua Indonesia membangun persepakatan bersama dan meramu dasar Negara dengan kearifan yang berbasis kebangsaan. Ditetapkanlah pancasila yang mencakup hajat hidup semua komunitas sebagai ideology bangsa. Meskipun pada awalnya, terdapat golongan muslim yang berinisiasi untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara, hal itu bisa ditepis dengan kesadaran bersama bahwa konteks Indonesia membutuhkan bangunan ideology yang sesuai dengan karakteristik bangsa.

Indonesia dengan mayoritas umat Islamnya, memiliki karakterisktik khas yang mempertegas identitasnya. Umat Islam di dalamnya, mempunyai tanggung jawab untuk menjunjung tinggi karakter tersebut untuk menjamin terealisasinya kepentingan bersama (al maslahah al amah) sebagaimana menjadi titik tumpu perjuangan para pahlawan terdahulu. Mendahulukan kebaikan ini menjadi prioritas bersama karena kalau tidak, terjadilah kekacauan seperti yang menjadi fenomena pada saat ini (dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih). Fenomena konflik antaragama akhir-akhir ini menjadi fakta sejarah bahwa toleransi dan inklusivitas perlu menjadi pedoman tiap-tiap elemen untuk saling menghormati ideology masing-masing. Tepat bahwa Indonesia menjadikan pancasila sebagai pedoman hidup bermasyarakat karena spirit-nya sama sekali tidak berlawanan dengan ajaran agama yang ada.

Dalam kilasan sejarah, umat Islam bisa berbangga dengan prestasi yang telah dicapai pada periode awal. Islam dijadikan sebagai ideology Negara yang mengatur semua pola hidup social. Pada fase ini (baca: khulafaur rasyidin), pemerintahan dijalankan dengan asas amanah. Orang Islam masih dalam kondisi terkendalikan karena cahaya persahabatan dengan rasul membingkai mereka dalam kesalehan individual dan social. Ajaran Al-qur’an dan sunnah rasul benar-benar dijadikan pemandu laju pemerintahan. Namun, pada akhir kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, terjadilah gejolak yang dahsyat sehingga beliu lengser dari kursi kekhalifaan. Pada perkembangan selanjutnya, kekuasaan menjadi watak pemerintahan sehingga yang tampak adalah kepentingan oligarkis. Masyarakapun kehilangan haknya sehingga Islam menjadi kamuflase kaum elit untuk mengendalikan kelas proletar. Kenyataan itulah yang kemudian melukai kesucian Islam. Tentunya umat Islam tidak menginginkan agama yang tercinta dijadikan bola mainan oleh oknum berkepentingan terselubung. Namun, tidak berarti bahwa model system kemsyarakatan ideal seperti di muka mustahil di terapkan lagi. Jawaban atas semuanya adalah konteks.



Religion dan religiosity

Dalam acara Bangbang Wethan di balai Pemuda Surabaya, April 2007, MH Ainun Najib (Cak Nun) pernah berpesan bahwa orang Islam perlu memahami dengan tepat makna religion (agama) dan religiosity (keberagamaan). Beliau menyimpulkan bahwa agama merupakan konsepsi final yang tercermin dalam lima rukun Islam. Yang ini tidak bisa ditawar-tawar, harus diikuti sesuai dengan petunjuk rasul. Keberagamaan, merupakan kebudayaan yang terdapat dalam tradisi agama, seperti tahlil, qunut dan lain-lain. Yang kedua inilah yang bersifat dinamis sesuai dengan konteksnya. Ini meniscayakan adanya polarisasi performance keagamaan bagi tiap pemeluknya sesuai dengan lingkungannya. Tidak terlalu berlebihan kiranya dinyatakan bahwa pola keagamaan luar negeri tidak sepenuhnya cocok dengan kepribadian bangsa tercinta ini. Kepribadian bangsa merupakan khazanah tersendiri yang perlu dipelihara dengan keyakinan bahwa Allah Mahaadil dan Mahabijak atas segala pemberian-Nya. Wallahu a’alamu bisshawab.

oleh : *Zainuddin

0 comments:

Post a Comment