Wednesday, November 5, 2008

Revitalisasi Jiwa Kepemimpinan

[oleh: Abd. Basid, Mahasiswa TH Khusus Fak. Ushuluddin dan Mahasantri PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya]

Lantaran merasa kotor sebagai anak bangsa, penyair Taufiq Ismail berujar, “malu aku jadi orang Indonesia”. Kita yang masih memiliki nurani dan kejujuran mungkin akan sependapat dengan beliau.


Tapi tidak dengan mayoritas pemimpin di Indonesia ini. Kenapa tidak? Seperti yang telah kita ketahui semua, bahwa para pemimpin di Negara kita ini laksana tidak punya rasa pri kemanusiaan, laksana hewan yang tidak dapat membedakan antara ibu (induk) dan anaknya sendiri, yang penting ia puas, meskipun ibu (induk) atau anaknya tetap ia “garap”.

Krisis nurani menjangkitinya. Maka tidak salah ketika salah seorang pujangga pernah berpesan pada anak tertuanya, “kamu boleh kehilangan harta, jabatan dan kedudukan, tapi kamu jangan sampai kehilangan satu hal, yaitu nurani. Karena manusia itu mempunyai nilai lebih ketimbang makhluk lainnya dikarenakan mempunyai nurani”.
Mayoritas para pemimpin di Indonesia ini (kalau tidak mau dikatakan semuanya), yang penting mereka nyaman, uang banyak, makan enak, semua orang mereka khianati dengan janji palsu dan sifat ketikusannya.

Kasus korupsi tak henti-hentinya menjangkiti Negara Indonesia ini, awalnya cuma satu dua orang, dan akhir-akhir ini kasus korupsi laksana jamur yang tumbuh di musim hujan. Mungkin ini cocok dengan istilah orang madura “bedhena tong duwek, mon ebitong ta’ kabuwek” (adanya cuma satu-dua, tapi kalau dihitung sampai ngak muat). Patutkah kebiasaan itu di biarkan? Tentunya tidak!

Merajalelanya korupsi telah membuat sesak nafas bangsa kita semakin menjadi-jadi. Betapa egoisnya para pejabat dan politisi hingga sama sekali tidak mempunyai orientasi akan eksistensi dirinya sebagai pelayan rakyat, yang semestinya memperjuangkan aspirasi rakyat untuk kesejahteraan bersama. Hingga, rekor korupsi itu berada di tangah pejabat-pejabat di daerah, baik kabupaten maupun kota.

Berbagai macam cara tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berusaha untuk meminimalisir praktik korupsi, mulai dari hukuman penjara bagi tersangka sampai inisiatif pembuatan seragam khusus. Tapi, kayaknya hal itu tidak berdampak positif.
Yang jadi pertanyaan sekarang ini, kenapa pemimpin yang telah dipercaya oleh rakyat malah mengkhianatinya? Kenapa air susu mereka balas dengan air tuba? Semua itu tak ubahnya—diantaranya—disebabkan karena mereka tidak punya jiwa kepemimpinan. Napsu akan duniawi mereka kedepankan tanpa melihat siapa yang ada di sekitarnya. Mereka yang bisa duduk di bangku birokrasi atau memjadi wakil rakyat justru berjiwa oportunis: yang penting aku untung, tak peduli yang lain buntung.

Dari saking buruknya citra para pemimpin bangsa ini, tidak heran jika ada rakyat yang berani merubah isi pancasila menjadi: 1) kebutuhan pribadi itu utama, 2) tapi, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat juga utama, 3) persahabatan harus dijaga, 4) kerakusan jangan dipelihara, dan 5) keadilan harus disebar luaskan. Semua ini merupakan salah satu bentuk kritik bagi kepemimpinan para pemimpin bangsa ini, yang tentunya karena kurang memihak dan mementingkan kepentingan rakyat. Akibatnya, pemimpin sekarang mengalami krisis integritas, kejujuran dan keteladanan.

Group band GIGI pun tak ketinggalan mengkritik akan eksistensi pemimipin bangsa ini, dengan lirik lagu religinya “Pemimpin Budiman”. Penggalan lagunya: Satu satu hancur dihancurkan oleh mereka/ Satu kehancuran belum cukup untuk mereka/ Maaf ku sedang mencari pemimpi yang paling benar…Bingung aku bingung apakah mereka manusia yang punya nurani atau sedikit rasa.

Seorang pemimpin adalah panutan bagi orang yang dipimpinnya, jika pemimpinnya memberi contoh yang jelek, jangan harap kekarismatikan menyifatinya, dan jangan harap kepemimpinannya dibilang sukses. Nabi Muhammad saw. dalam salah satu hadisnya menegaskan akan status kepemimpinan. Beliau bersabda yang intinya, setiap manusia pada hakikatnya adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas mereka yang dipimpin.

Inti dari hadis tersebut ingin menyadarkan semua pihak bahwa kepemimpinan yang utama dan terutama adalah orientasi (orientasi pengabdian, kejamaahan (bangsa), dan keutamaan (rakyat)) serta taggung jawab. Bukan malah bertanggung jawab dalam orasi kampanyenya saja (mengumbar janji). Seorang pemimpin harus secara total memperbaiki kondisi mereka yang dipimpin. Dalam kontek ini semua manusia adalah pemimpin yang harus berjuang untuk memperbaiki diri sendiri, keluarga, dan masyarakat (rakyat).
Seorang pemimpin tidak harus paling pintar atau intelek. Dalam bukunya Al-Muqaddimah, sosiolog terkemuka pada abad pertengahan, Ibnu Khaldun menengarai, pemimpin yang ideal bukanlah sosok yang paling intelek atau yang paling kuat secara fisik, melainkan pemimpin yang bisa menjadi figur bagi mereka yang dipimpin, siap mengedepankan kepentingan masyarakat dibanding kepentingan pribadi maupun kelompoknya, dan mampu menguasai dan mewujudkan nilai-nilai fundamental bangsa. Yaitu, ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kemajemukan, kemakmuran, dan keadilan.

Dikaitkan dengan permasalahan pemimpin bangsa kita seperti yang disebutkan diatas, Indonesia masih membutuhkan seorang pemimpin yang betul-betul berusaha mewujudkan kesejahteraan dan berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pemimpin yang mementingkkan kepentingan pribadi atau kelomok. Untuk itu jiwa kepemimpinan dalam diri seseorang yang hendak menjadi wakil rakyat perlu di revitalisasi atau di hidupkan kembali supaya tidak terjerumus pada praktik korupsi, pembalakan liar, dan permasalahan bangsa lainnya.

Dengan demikian, apa yang pernah dibayangkan Bung Karno—Bung Karno pernah membayangkan Indonesia sebagai Bangsa-Negara yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya—menjadi kenyataan dan para pemimpin bangsa ini akan dihuni para pemimpin yang mempunyai nurani dan jiwa pemimpin yang jujur dan amanah, tidak lagi membuat bangsa sesak nafas karenanya, dan bangsa ini bisa bangkit menjadi bangsa yang punya martabat yang masih dipertanyakan, bukan menjadi sarang penyamun dan tikus.

0 comments:

Post a Comment